Lihat ke Halaman Asli

Agus Subali

Penikmat keheningan.

AUKUS: Memicu Indonesia dan Asia Tenggara Menguasai Nuklir?

Diperbarui: 21 November 2022   14:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar rudal balistik antar benua Dongfeng, DF-26 milik China yang mampu menjangkau jarak lebih dari 3000 km. (Gambar: Kompas.com)

Situasi berbeda, saat Indonesia berani bilang "go to hell with your aid" kepada Amerika pada 1960-an. Militer Indonesia saat itu berlabel, kekuatan mengerikan di belahan bumi selatan. Indonesia sering merepotkan banyak negara besar. Tentunya Amerika, Inggris dan sekutunya. Tidak terkecuali Australia.

Saat konflik Dwikora 1963, pilot AURI sering usil masuk ruang udara Australia. Keisengannya ditambah aksi menjatuhkan ransel TNI. Seolah militer Indonesia sudah masuk ke daratan Australia.

Indonesia nyaman-nyaman saja. Karena tahu, tidak ada pesawat Australia yang mampu mengejar. Australia jelas panik. Akhirnya batal mengirimkan personelnya untuk membantu Malaysia dalam konflik melawan Indonesia.

Kedekatan dengan Blok Timurlah yang menjadikan militer Indonesia mendapat persenjataan mutakhir pada zamannya. Mulai pembom strategis jarak jauh TU-16 Badger, puluhan kapal selam kelas Whiskey, sampai dengan Mig-21. Pesawat langka dengan kecepatan supersonik.

Persenjataan militer Indonesia saat itu hasil gotong royong dari Uni Sovyet, RRT, Cekoslowakia dan Polandia.

Permainan Berubah

Lima belas September 2021, muncul pakta militer di kawasan Indo-Pasifik, AUKUS ( Australia, United Kingdom, United State). Pakta ini bertujuan menantang dominasi Beijing di Laut Tiongkok Selatan. 

Misi yang diusung adalah kebebasan bernavigasi. Pakta ini berkekuatan senjata nuklir. Misinya menekan atau setidaknya mendorong China supaya lebih dekat bergerak ke teritori daratannya.

Klaim Tiongkok terhadap LTS jelas melanggar UNCLOS 1982. Perluasan teritori yang melanggar yuridiksi negara lain: Filipina, Malaysia, Brunei, Vietnam dan juga Indonesia. Apapun alasannya tidak ada pembenaran terkait pelebaran teritorial. Pembagian LTS sudah berkekuatan hukum tetap. Sebagai acuannya adalah hukum laut internasional PBB, UNCLOS 1982.

Apalagi Tiongkok termasuk salah satu negara yang meratifikasi konvensi PBB tersebut. Klaim Beijing hanya didasarkan pada sejarah masa lalu--ribuan tahun--sebagai tempat mancing tradisional nenek moyangnya. 

Nine Dash Line adalah upaya peruntungan Tiongkok untuk mengambil alih kendali jalur perdagangan paling sibuk di dunia. Selain itu bonusnya adalah menguasai SDA yang terpendam di LTS. Harta karun, deposito masa depan Tiongkok.

Dengan militerisasi Tiongkok di gosong tengah laut LTS saja sudah membuat Asia Tenggara seperti tungku api, yang siap berkobar. Ditambah pemantik baru AUKUS. Indonesia jelas keberatan dengan munculnya pakta tersebut.

"Di luar Asia Tenggara, Indo-Pasifik, Indonesia melihat dan mengkhawatirkan meningkatnya tensi di antara negara-negara besar," Ujar Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi dalam konferensi pers virtual di sela sidang Majelis Umum PBB, Rabu (22/9/2021) seperti yang dikutip CNN Indonesia.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline