Lihat ke Halaman Asli

Agus Subali

Penikmat keheningan.

Serpihan Cerita dari Undangan "Sound of Borobudur" (2)

Diperbarui: 6 Juli 2021   12:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

                                                                                                                               Dok.pribadi                                

Pukul 23.06 WIB, Kereta Api Wijayakusuma tujuan akhir Cilacap memperlambat lajunya. Kereta yang digerakkan Lokomotif CC201/203 ini, sudah menempuh jarak 596 km, diukur dari keberangkatan awal, Stasiun Ketapang, Banyuwangi

Terdengar dari pelantang suara,  kereta  sebentar lagi akan berhenti di Stasiun Tugu, Jogjakarta. Aku berdiri dari tempat duduk, bersiap mengemasi barang bawaan. Sudah  11 jam aku duduk. Rasanya pegal sekali. Padahal, hanya duduk saja, tidak melakukan aktivitas fisik yang melelahkan. Tapi nyatanya aku kelelahan.

"Perjalanan setiap orang berbeda. Dalam makna dan tujuannya. Sebagaimana perjalannku ke Borobudur kali ini. Bagiku, perjalanan ini adalah perjalanan spiritual bukan tamasya hura-hura, piknik asik-asik."

Ada kerinduan yang dalam untuk melihat, menyentuh, dan menghirup momen di Candi Borobudur. Candi yang pernah ditulis di dalam Babad Mataram tahun 1757, di mana diceritakan pangeran Keraton Yogyakarta meninggal dunia setelah megunjungi "Satria dalam kurungan" yang merujuk pada arca Budha dalam stupa di bukit Borobudur. 

Pada waktu itu ada pantangan untuk mengunjungi Borobudur. Tapi pangeran tersebut menerabas pantangan. Setelah pulang, pangeran tersebut sakit, sehari kemudian meninggal.

Borobudur tetap impresif, berselimut misteri dengan arsitektur mengagumkan hingga saat ini. Saat ruang angkasa menjadi medan jelajah manusia. Saat perang sudah tidak lagi menggunakan pedang. Borobudur tetap istiqomah dalam kemisteriusan. Borobudur benar-benar Wonderful Indonesia.

Candi yang membuat orang sekelas Alfred Russel Wallace dan Thomas Stamford Raffles tertegun penuh kekaguman. Bahkan Nieuwenkamp seniman Belanda, tahun 1931 berimajinasi, Borobudur bak setangkai teratai di genangan air. Hipotesa danau Borobudur mencuat dan memicu perdebatan hebat.

Diriku bukan ketiga tokoh legenda itu, diriku hanya bloger Kompasiana yang menang kompetisi dan mendapat kartu hijau untuk mengunjungi Borobudur. Namun, aku meyakini tidak ada yang kebetulan di dunia ini. Aku menyadari kekagumanku dan ketertarikanku tentang Borobudur sangat kuat. Aku merasakannya. Mungkin karena itu juga aku ditarik oleh daya, sebagaimana Rhonda Byrne sebut "the law of attraction". Duh, berteori lagi!

Pertemuanku nantinya dengan Blogger Kompasiana, Mbak Nurul, Mbak Vicky, Mbak Ratih, Pak Khun, Pak Djulianto, Mbak Tety, Mas Detha, Mbak Riana atau dengan Penggagas Sound Of Borobudur Mbak Trie, Bli Bujana, Bang Vicky, Mas Wibi, Mas Bachtiar, Mas Redy, Mas Supri dan panitia acara Mbak Cilla, Mbak Putri, Mbak Irene, Mbak Yola dan lainnya bukanlah kebetulan belaka, ini terencana dalam kemisteriusan kosmik. Duh, terlalu banyak baca karya H.G Wells.

******

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline