"Delegasi Tiongkok datang dengan tujuan mencari persatuan, bukan untuk mencari perselisihan. Tidak ada gunanya menyodorkan ideologi atau perbedaan di antara kita. Kita datang kemari untuk menemukan persamaan pandangan," (Zhou Enlai, KAA :1955)
---------
Di atas adalah kutipan pidato yang diucapkan oleh Perdana Menteri Tiongkok, Zhou Enlai saat memberikan "hak bela" di Konferensi Asia Afrika (KAA), Bandung tahun 1955. Pidato tersebut hakekatnya menepis polemik layak tidaknya Tiongkok ikut serta dalam KAA. Mengingat Tiongkok adalah negara Komunis. Pada saat yang sama, gairah KAA adalah keluar dari perseteruan dua blok: Komunis dan Kapitalis.
Konferensi Tingkat Tinggi KAA yang berlangsung 18-24 April 1955, menghasilkan manifesto Dasa Sila Bandung. Sampai saat ini manifesto tersebut masih relevan untuk dijadikan norma internasional. Misal, sila 2; Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa. Sila 10; menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban Internasional. Manifesto tersebut ditandatangani oleh 29 negara, termasuk Tiongkok yang diwakili langsung oleh Perdana Menterinya, Zhou Enlai.
Menarik sekali mengaitkan KAA dengan ketegangan yang terjadi di Laut Tiongkok Selatan (LTS). Sebagai ilustrasi bahwa Tiongkok berambisi menguasai 90% perairan LTS, yang mengiris teritorial: Malaysia, Brunei Darussalam, Vietnam, Filiphina, Taiwan dan juga Overlapping dengan ZEE Indonesia. Klaim tersebut mengundang banyak negara di luar ASEAN untuk ikut terlibat seperti Amerika dan sekutunya.
Laut Tiongkok Selatan membentang seluas 2 juta km2 . Mengutip dari Council of Foreign Relation, Bank Dunia, LTS mempunyai cadangan minyak 7 milyar barrel, gas 900 trilyun kaki kubik.World Maritim Council memperkirakan 25% lalu lintas perdagangan dunia melewati LTS dengan valuasi barang mencapai USD 5,3 trilyun. Ini merupakan wilayah yang kelewat strategis dan harta karun untuk negara yang menguasai.
Klaim Tiongkok atas LTS memang ambisius, namun bisa diprediksi. Masa lalu sebagai pewaris kekaisaran Mongol yang pernah melebarkan hegemoninya, jauh masuk ke Laut Jawa; bisa jadi pijakan membangun romantisme sejarah dan peruntungan teritorial. Sebagaimana istilah "relevant water" dan "historical rights" yang digunakan Tiongkok untuk melegalkan klaimnya atas LTS.
Indonesia VS Tiongkok
Pada saat disahkannya hukum laut Internasional oleh PBB (UNCLOS 1982), batas laut, Indonesia-Tiongkok tidak ada masalah alias clear. Namun, saat Tiongkok mengeluarkan peta teritorial tahun 2014 dengan menyertakan garis imajiner Nine Dash Line; di situ mulai muncul singgungan. Laut Natuna Utara--sebagai ZEE Indonesia--teriris. Padahal statusnya sudah legal formal, dan sah menurut PBB.
Pastinya semua sudah diperhitungkan oleh Tiongkok. Dengan menarik Indonesia masuk ke dalam konflik LTS sebenarnya bisa menimbulkan ongkos politik lebih besar. Karena di kawasan ASEAN, Indonesia adalah negara dengan teritorial terluas, penduduk terbanyak dan juga sebagai pemimpin tradisional ASEAN. Nyatanya Indonesia memang dilibatkan. Namun, di sisi lain, penanganan konflik dengan Indonesia, Tiongkok sangat hati-hati, beda perlakuan saat bersinggungan dengan Vietnam atau Filiphina yang terkadang boleh dinilai brutal.