Lihat ke Halaman Asli

AGUS SJAFARI

DOSEN FISIP UNTIRTA, KOLOMNIS, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PEMERINTAHAN

Putusan MK dan Penyelamatan Demokrasi

Diperbarui: 29 Agustus 2024   10:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber gambar: KOMPAS.com)

Oleh: Agus Sjafari*

HUT RI ke 79 Tahun 2024 ini bangsa Indonesia tidak saja merayakan Hari Kemerdekaan saja, melainkan juga mendapatkan kado spesial khususnya kado penyelamatan masa depan demokrasi kita yaitu dalam bentuk Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan calon kepala dan wakil kepala daerah di pilkada, dan Nomor 70/PUU-XXII/2024 mengenai syarat usia calon kepala daerah.

Secara substansial bahwa kedua Keputusan itu pada dasarnya merupakan sebuah bentuk kemerdekaan demokrasi kita yang dalam beberapa tahun terakhir ini terjajah oleh demokrasi elit. Ketentuan batas minimal 20 % threshold dalam pencalonan presiden dan khususnya kepala daerah diibaratkan seperti "hantu demokrasi" yang membelenggu aspirasi rakyat untuk mencalonkan calon potensial atau calon terbaiknya.

Dampak yang ditimbulkan dengan tingginya ambang batas pencalonan tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, bagi partai politik khususnya partai politik pada level medioker syarat 20 % sangatlah memberatkan untuk memajukan calon potensial.

Batas ambang batas tersebut pada akhirnya hanya didominasi oleh parpol menengah ke atas atau gabungan partai politik guna memenuhi prosentase ambang batas pencalonan tersebut.

Pada akhirnya bahwa ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah hanya menjadi monopoli dari partai politik besar. Fenomena borong partai yang kemudian kita kenal sebagai "kartel politik" menjadi fenomena politik yang sangat membahayakan demokrasi kita pada masa yang akan datang.

Kedua, Merugikan aspirasi dan partisipasi rakyat. Esensi dari demokrasi pada dasarnya adalah bagaimana aspirasi dan partisipasi rakyat tersalurkan tidak saja pada saat pencoblosannya saja, melainkan rakyat juga diberikan keleluasaan untuk terlibat dalam mengusulkan calon pemimpin bangsa dan pemimpin daerah yang layak dan memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat.

Kondisi saat ini menunjukkan bahwa elit partai politik yang berkongsi tidak mampu memberikan pilihan alternatif kepada rakyat, rakyat hanya disuguhkan kepada pilihan-pilihan calon pemimpin yang sangat terbatas.

Kartel politik diibaratkan sebuah restoran di mana menu makanannya sudah dihidangkan dan konsumen yang datang disuruh memilih dan memakannya, tidak peduli apakah rasanya enak atau tidak enak. Kondisi itulah yang tergambar akhir-akhir ini dalam perpolitikan di Indonesia saat ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline