POLITISASI "AMICUS CURIAE"
Oleh: Agus Sjafari*
Istilah amicus curiae menjadi trending topic dalam perpolitikan kita saat ini khususnya dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Semula publik awam dengan istilah tersebut, dikarenakan istilah tersebut merupakan istilah hukum yang hanya dipahami oleh kalangan yang belajar tentang hukum peradilan. Sejak Megawati juga mengajukan diri sebagai amicus curiae beberapa waktu yang lalu, maka istilah tersebut menjadi semakin familiar. Istilah amicus curiae dalam bahasa inggrisnya merupakan friends of the court (sahabat pengadilan), yang mana semua orang baik individu, kelompok, atau lembaga di luar dari pihak -- pihak yang berperkara dapat mengajukan dirinya sebagai amicus curiae ini. Pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae ini memberikan pokok -- pokok pikirannya sebagai pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara, kebetulan dalam masalah ini terkait dengan perkara sengketa pilpres 2024 yang telah lewat.
Menjelang pembacaan putusan MK tentang sengketa pilpres pada minggu yang akan datang semakin banyak pihak yang ingin mengajukan dirinya sebagai amicus curiae ini. Data pertanggal 17 April berdasarkan informasi dari juru bicara MK sudah terdapat sebayak 22 pihak yang sudah mengajukan dirinya sebagai amicus curiae ini. Mungkin jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan semakin dekatnya pembacaan putusan MK.
Perlu kita ketahui bersama bahwa sengketa pilpres 2024 ini tidak murni merupakan persoalan hukum semata, di dalamnya sarat dengan muatan politik yang sangat kuat. Dengan demikian pihak -- pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae tersebut tidak semuanya steril dari kepentingan politik, meskipun dari beberapa pihak yang sudah mengajukan diri sebagai amicus curiae tidak memiliki kepentingan politik praktis melainkan murni untuk kepentingan penegakan hukum dan demokrasi pada masa yang akan datang misalnya pihak yang berasal dari kalangan kampus, kalangan budayawan, tokoh nasional yang memang tidak berafiliasi kepada kepentingan politik manapun.
Idealnya memang pihak yang mengajukan diri sebagai amicus curiae itu adalah orang -- orang yang tidak memiliki interest kepentingan politik praktis atau tidak memiliki keberpihakan kepada pasangan calon yang saat ini sedang bersengketa di pengadilan MK. Pihak -- pihak yang tidak terkait dengan pasangan calon yang sedang bersengketa itu antara lain dari kalangan partai pengusung, timses, kelompok relawan pendukung dan kalangan pendukung lainnya. Dengan demikian pokok -- pokok pikiran atau pandangan terkait dengan pertimbangan hukum yang disampaikan akan relatif lebih murni dan tidak sarat dengan kepentingan politik praktis. Pada dasarnya publik sangat berharap bahwa pihak -- pihak yang mengajukan dirinya sebagai amicus curiae adalah pihak -- pihak yang tidak terkait dengan pasangan calon yang berperkara di MK, dengan demikian pokok -- pokok pikirannya tersebut murni merupakan penambahan informasi, data dan fakta sebagai pertimbangan hukum serta penguatan dari perspektif lainnya seperti penguatan aspek etika, moral, sosiologis, serta aspek -aspek lainnya sebagai bahan pertimbangan para hakim MK di dalam memutuskan perkara sengketa pilpres tersebut.
Politisasi Elit dan Massa
Pengajuan Megawati sebagai amicus curiae memiliki beberapa aspek sekaligus yang berpengaruh di dalamnya. Pertama, Pokok -- pokok pikiran yang disampaikan Megawati dapat kita interpretasikan benar -- benar merupakan dukungan moral dan etis serta pemikiran hukum dengan maksud memberikan pengayaan informasi, data dan fakta bagi para hakim MK di dalam mengambil keputusan dalam sengketa pilpres 2024. Kedua, kehadiran Megawati sebagai amicus curiae merupakan sebuah dukungan politik atau back up politik apabila pada akhirnya para hakim MK mengambil keputusan yang berbeda dengan keputusan yang diinginkan oleh pemerintah dan paslon 02. Artinya Megawati sebagai simbol partai terbesar saat ini siap "pasang badan" untuk mendukung sepenuhnya dan memberikan "jaminan" kepada para hakim MK dari intervensi kekuasaan atau pasangan yang didukung kekuasaan saat ini. Ketiga, Kehadiran Megawati sebagai amicus curiae akan mengundang pihak -- pihak yang berseteru dalam pilpres dan kekuatannya dalam hal ini paslon 02 untuk berbondong -- bondong mengerahkan para tokohnya dan organisasinya untuk menjadi amicus curiae juga. Hal tersebut pada akhirnya akan membawa kepada suasana pengerahan massa atau show of force (unjuk kekuatan) dukungan secara besar -- besaran untuk menjadi amicus curiae. Kondisi tersebut tidak kita harapkan dikarenakan keluar dari esensi dari amicus curiae itu sendiri.
Tontonan selanjutnya yang kemudian tampak ke publik adalah MK menjadi tempat pertarungan politik praktis yang berkedok kepentingan hukum. Hal ini yang tentunya akan mencoreng nama besar MK itu sendiri sebagai Lembaga peradilan yang sangat terhormat. Hal tersebut akan menjadi beban berat tersendiri kepada para hakim MK yang secara tidak langsung diintervensi secara politik dalam pengambilan keputusannya. Publik sangat tidak menginginkan bahwa kondisi tersebut menjadikan sesuatu yang kontraproduktif, yang pada akhirnya para hakim MK sama sekali tidak mempertimbangkan esensi dari pokok -- pokok pikiran dari para amicus curiae, dan pada akhirnya MK tidak berani untuk melakukan terobosan hukum dalam mengambil keputusan terkait perkara pilpres ini. MK pada dasarnya bukan lembaga politik, melainkan sebagai lembaga peradilan yang memutus perkara -- perkara politik yang memiliki perselisihan hukum guna mendapatkan kepastian hukum.
Amicus Curiae Bukan Penentu
Secara umum, landasan hukum yang dikaitkan sebagai dasar penerimaan konsep Amicus Curiae di Indonesia adalah Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) yang menegaskan bahwa "Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat".