Lihat ke Halaman Asli

Pada Titik Paling Harap

Diperbarui: 23 November 2024   21:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Cincin Perkawinan (Sumber: cladiright.com)

Prolog :

Aku melihat seorang gadis duduk terdiam di sudut kafe yang ramai. Di tangannya, ia menggenggam sebuah handphone, jemarinya bermain di atas layar dengan gerakan yang tampak tak bersemangat. Wajahnya yang sendu terselubung bayang-bayang kesedihan yang mendalam. Sesekali, ia menyeka air mata yang jatuh tanpa henti, seolah ada beban berat yang tak terucapkan di hatinya. Di tengah kebisingan dunia yang terus berputar, ada sebuah cerita yang terpendam di balik tatapan matanya yang hampa, menunggu untuk diungkapkan.

Di tengah kesibukan dunia yang terus berputar, ada sebuah cerita sederhana yang berdiam dalam hati seorang gadis. Gadis yang sudah lama belajar tentang sabar, tentang cinta, dan tentang menunggu. Namun, kali ini, sabar itu mulai memudar, perlahan-lahan hilang ditelan waktu. Di hati gadis ini, ada sebuah harapan yang terus berbisik, bertanya-tanya: "Kapan kita akan bersama selamanya?"

Kekasihnya, pria yang ia cintai dengan seluruh jiwa dan raganya, telah berada di sisinya selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Mereka telah berbagi tawa, berbagi air mata, saling memeluk dalam lelah, dan mencinta dalam setiap bisikan. Namun ada satu hal yang belum mereka lakukan, satu janji yang belum ia dengar dari bibir kekasihnya: lamaran itu.

Dia tahu, waktu memang tak bisa dipaksakan. Dia tahu, cinta tak seharusnya diburu. Tapi, di sudut hati yang paling dalam, ada kerinduan yang tak bisa ia ungkapkan. Rindu untuk menjadi satu, tanpa ada lagi ruang kosong di antara mereka. Rindu untuk mendengar janji suci yang terucap di depan altar, untuk tahu bahwa hari-hari mendatang akan mereka lalui bersama, tak lagi terpisah oleh apapun.

Dia ingin dilamar, bukan karena ego atau rasa ingin memiliki, tetapi karena hatinya percaya bahwa mereka bisa bersama lebih dari sekadar berjanji. Mereka sudah mengenal satu sama lain dalam berbagai bentuk---saat bahagia, saat terluka, dan saat jatuh. Mereka sudah bersama melewati dunia yang tak sempurna ini. Dan kini, ada satu langkah lagi yang ingin diambil---untuk mengikat cinta mereka dengan sebuah cincin, sebagai simbol dari komitmen yang telah mereka bangun bersama.

Namun, yang lebih menyesakkan adalah rasa takut yang datang bersama setiap doa yang ia panjatkan. Takut jika semua ini hanya ada dalam imajinasinya saja, takut jika ia salah berharap terlalu lama. Cinta ini begitu besar, namun apakah cukup untuk menyatukan dua jiwa dalam ikatan yang lebih kuat? Ataukah mungkin, cintanya hanya akan menjadi kenangan indah dalam cerita yang tak pernah jadi kenyataan?

"Aku mencintaimu, lebih dari apapun di dunia ini. Cinta ini lebih besar dari sekedar kata-kata yang bisa kita ucapkan. Ia adalah luka yang kita rawat bersama, air mata yang kita bagi, dan tawa yang kita ciptakan. Namun, apakah cinta kita akan cukup untuk menutup luka-luka yang ada di dalam hati kita? Ataukah ini akan menjadi cinta yang tak pernah selesai?"

Dengan hati yang berdebar, ia menunggu. Seperti bunga yang menunggu matahari, seperti langit yang menanti hujan. Dengan sabar, meski ada kerinduan yang semakin dalam. Ia tahu, lamaran bukanlah akhir dari perjalanan cinta mereka, tetapi hanya sebuah awal dari perjalanan baru. Sebuah perjalanan yang lebih abadi, lebih sempurna, lebih penuh.

Namun, jika hari itu belum datang, jika lamaran itu masih terkatung-katung di udara, maka ia akan terus menunggu, dengan harapan yang lebih kuat dari sebelumnya. Karena di dalam hatinya, ada satu doa yang tak pernah pudar: "Semoga cinta ini tak hanya tinggal di angan, tapi menjadi kenyataan yang abadi."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline