Duka Ibu Pertiwi
Di awal tahun yang baru ini, yang bahkan belum genap berusia satu bulan. Ibu Pertiwi minitikan air matanya.
Belum habis luka akibat pandemi, sebuah burung besi terbang tinggi menuju angkasa, namun ia segan untuk kembali membumi. Membawa beribu kisah di dalamnya, mengepakan sayap menuju surga.
Satu per satu bencana datang tanpa henti, tanpa mempersilahkan diri untuk bersiap menghadapi.
Alam seakan murka dengan tingkah laku tamak sebagian manusia, yang tanpa malu memakan hak sesamanya, bahkan berani ingkar dengan janjinya kepada Tuhannya.
Tanah longsor, banjir bandang, gempa bumi, air pasang atau tsunami dan gunung berapi mengancam jutaan jiwa setiap saat. Sekali lagi alam menunjukan kuasa Tuhan atas dunia yang fana ini.
Sebuah pertandakah untuk kita manusia, atau hanya melihat bencana ini sebagai fenomena alam yang biasa.
Terdapat luka dan duka disana, di tempat saudara kita yang tertimpa bencana.
Sudah saatnya kita saling melengkapi, melupakan segala ego pribadi yang selama ini menjadi sumber perpecahan.
Semoga Tuhan kuatkan hati mereka yang tertimpa bencana.
Semoga sang Garuda dapat terbang tinggi, menyaksikan Ibu Pertiwi tertawa kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H