Manusia sebagai makhluk sosial tidaklah dapat hidup sendiri dalam memenuhi atau mengadakan segala keperluannya, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal. Namun membutuhkan eksistensi orang lain. Sebab manusia bukanlah makhluk serba bisa, yang sanggup membuat barang-barang yang diperlukan sendirian.
Untuk itulah manusia melakukan pertukaran barang atau barter (biasanya dilakukan di masa lalu atau daerah yang sangat terpencil, di mana mata uang sangat sulit didapatkan) dan jual beli.
Di dalam jual beli tentu ada pihak yang menjual dan ada pihak yang membeli serta adanya akad (serah dan terima barang).
Ketika penjual dan pembeli saling ridha dan rela dalam menjual dan membeli barang, maka keberkahan akan turun kepada keduanya. Penjual ridha, mendapat keuntungan, pembeli senang mendapatkan barang yang dia butuhkan. Namun ketika salah satu pihak tidak ridha maka keberkahan tidak akan turun. Seperti kasus kebanyakan terjadi pada jual beli yang bersifat online.
Menjual produk tanpa menyebutkan kecacatan, mencampur barang rusak dengan yang bagus, juga termasuk salah satu bentuk penipuan yang dilarang oleh agama dan norma sosial. Penjualan semacam ini secara tidak langsung mengambil harta orang lain tanpa ada barang sepadan yang dipertukarkan dan merupakan sebuah kezaliman. Penjual siap menanggung akibatnya di akhirat kelak, pembelipun akan menagihnya di sana, disaksikan Tuhan semesta alam.
Penjual tersebut telah hilang kejujurannya, telah mencoreng citra dan harga dirinya. Ucapan dan kesaksiannya tidak akan dipercaya lagi oleh pembeli.
Sejatinya dia telah mematikan bisnisnya dengan untung besar sesaat. Pembeli pun kapok, akan menandai dan menyaring, mana penjual jujur dan yang tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H