Menjelang perayaan hari pahlawan 10 November dan hari kesehatan nasional 12 November di tahun ini, Indonesia seakan mendapatkan kejutan berupa pukulan telak dari pemerintah Indonesia. Pukulan ini seakan bertubi tubi, karena kebijakan pemerintah untuk menekan faktor resiko kesehatan akibat rokok, seolah-olah hanya pepesan kosong yang semakin mustahil direalisasikan.
Bagaimana tidak mustahil? Berbagai media ikut ramai menyebutkan bahwa Pemerintah dan BPJS Kesehatan justru memberikan solusi atas defisitnya BPJS Kesehatan sebesar 9 Trilliun (T) yang akan diambilkan dari hasil cukai rokok. Sejak awal berjalan 2014, BPJS sudah mengalami defisit. Justru setelah 3 tahun berjalan, defisit malah semakin meningkat tajam dari 3,3 T di tahun 2014 menjadi 9 T di tahun 2017 dan diperkirakan defisit akan terus naik di tahun 2018. Itu berarti sejauh ini belum ada upaya yang mampu mengatasi.
Selama ini upaya menaikan iuran peserta dan semakin bertambahnya jumlah peserta BPJS Kesehatan, ternyata masih belum mampu mengurangi bahkan mempertahankan kebocoran dana BPJS kesehatan karena tingginya beban biaya orang sakit. Hal itu menandakan semakin banyaknya orang sakit dan biaya negara untuk menaggungnya. Pertanyaanya, masihkah kita malas malasan untuk menciptakan lingkungan dan kondisi yang sehat dan memperkecil faktor resiko supaya tidak sakit?
Disisi lain sejak nenek moyang kita hingga sekarang, Dunia Internasional termasuk Pemerintah Indonesia sudah mengkampanyekan bahwa untuk hidup sehat kita harus jauhi rokok. Salah satunya 10 point kesehatan Presiden Jokowi februari lalu, point ke-6 adalah "hentikan merokok". Yakinkah negeri ini bisa menghentikan aktifitas industri rokok dan kroni-kroninya?. Bahkan, ada 400 lebih fatwa ulama diberbagai negara yang menyatakan bahwa rokok itu haram kecuali Indonesia yang dikhususkan untuk kelompok orang tertentu. Berbagai bukti ilmiah baik korban dan dampak buruk rokok dari segala sisi diberbagai belahan dunia, ternyat belum mampu menyadarkan dan menggetarkan hati negeri ini untuk menhentikan rokok. Lalu seberapa pentingnya sih industri rokok buat masa depan negeri ini?
Seolah-olah rokok lebih penting dari bahan pangan dan pokok, yang faktanya membuat kita tidak pernah kapok dan akhirnya terpojok. Mungkin kita salah, jika kita berfikir logis dan ingin sehat. Sampai kapan kita akan mempertahankan Industri rokok dan kroni kroninya? Apakah kita akan terus mempertahankan rokok hanya karena bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah? Atau mungkin hanya karena warisan budaya? yang mengesampingkan segala dampak negatif dan kesehatan yang diakibatkanya. Padahal jelas sudah ada kajian yang mengatakan bahwa kerugian ekonomi akibat rokok 3-4 kali lipat jauh lebih besa dari pada hasil cukai rokok.
Mungkin suatu saat dengan alasan yang sama atau berbeda, pembunuh bayaran, dan juga narkoba pun bisa dilegalkan seperti rokok diberikan cukai dan menjadi sumber pemasukan negara yang segar dan besar. Padahal tidak diragukan lagi, Industri rokok tidak akan mati jika Indonesia mau benar-benar bebas dari perokok, iklan rokok dan kroni-kroninya. Indonesia di jamin tidak akan rugi bahkan untung besar jika hanya kehilangan industri rokok, pekerjanya, perokoknya dan beberapa deretan orang kaya pemilik saham terbesar rokok. Keyakinan ini berdasarkan anjuran agama dan berbagai bukti ilmiah di tingkat lokal hingga internasional dari dampak negatif rokok selama ini.
Mestinya pemerintah semakin meningkatkan dan mengevaluasi upaya promotif dan preventif, selain memperbaiki sistem BPJS, iuran dan sistem pelayanan kesehatan. Oleh sebab itu Pakar Kesehatan Masyarakat Indonesia sekaligus Ketua Perhimpunan Sarjana dan Profesional Kesehatan Masyarakat Indonesia (PERSAKMI) memberikan rekomendasi ke DPR, Pemerintah Pusat dan Daerah untuk menempatkan anggota-anggotanya mulai dari level desa, sektor pemerintahan maupun swasta dalam rangka menjaga dan memaksimalkan kesehatan melalui upaya promotif dan preventif. Memperkecil faktor resiko perilaku sakit masyarakat yang sudah membudaya dan cukup sistemik dari segala sisi.
Bahkan analisis koordinator bidang khusus Public Health 2.0 PERSAKMI yang dipublikasikan dilaman resmi PERSAKMI menyatakan ada 59.895.160 orang atau 29,3 % penduduk 10 tahun keatas perokok aktif di Indonesia. Bayangkan jika perokok bisa berhenti dan uang yang biasa dibelanjakan rokok (/bungkus 15 ribu) tiap hari digunakan untuk membangun rumah sederhana (per satu rumah 150 juta) hasilnya bisa digunakan untuk membangun sebanyak 184.178 unit rumah sederhana setiap bulan.
Kita bisa menilai, sejauh apa pemerintah serius menekan berbagai faktor resiko penyebab orang sakit akibat rokok?? Jika sudah serius, lalu kenapa data Riskesdas 2013 menunjukan angka jumlah perokok semakin meningkat. Berapapun dana talangan cukai rokok yang disumbang negeri ini, dampaknya justru akan terus menyumbang hadirnya orang sakit dan menjadi beban negara selama industri rokok dan kroni-kroninya masih bebas menjajah kesehatan negeri ini. Perokok aktif yang merokok ditempat-tempat umum bukan hanya merugikan dirinya sendiri tetapi merugikan dan membahayakan orang lain disekitarnya.
Dalih-dalih kuno masih terus disuarakan sebagai pajak dosa yang harus membantu dan ikut menyelamatkan kerugian negara. Yang pasti selama ini cukai rokok membantu menambah korban dan angka kesakitan Penyakit kronis yang semakin bertambah dan mendominasi penyebab kematian dan kesakitan sepuluh tahun terakhir. Akhirnya berdampak kepada beban ekonomi dan kerugian suatu negara, tetapi lagi-lagi itu sudah menjadi sebuah kebiasaan negeri kita sehingga terlihat sebuah hal yang biasa dan wajar-wajar saja.
Faktanya berbagai kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) lemah di implementasi. Pemerintah pusat dan daerah hanya mampu menyuruh dan membuat kebijakan tanpa memberikan tindakan dan contoh serius dan konsisten untuk menyehatkan dengan mengurangi salah satu penyebab kesehatan yaitu rokok. Pelanggaran aturan-aturan KTR hanya menjadi sebuah hal pelengkap administrasi dan tidak perlu dianggap penting dan serius.