Puncak Hari Kesehatan Nasional (HKN) tepat pada 12/11/2017 adalah yang ke 53 dan mengusung tema "Sehat Keluargaku, Sehat Indonesiaku". Sebelum terlalu jauh melangkah arah kesehatan kedepan, sejenak kita flashback, bercermin, dan bernostalgia, apa saja yang sudah kita lewatkan selama ini. Terutama dari catatan-catatan bersejarah kesehatan negeri ini. Begitu juga dengan kenangan manis maupun pahit yang ada didaftar catatan penting dari perjalanan yang telah terdokumentasi dengan baik selama ini.
Tapi Catatan itu bisa saja terlewat, tercecer karena banyaknya sudut pandang kepentingan yang harus dicatat dan diangkat agar muncul dipermukaan. Bukan hanya muncul dipermukaan kaum elit tetapi juga mucul dipermukaan publik. Apalagi jika catatan yang disiapkan untuk nostalgia itu memiliki raport merah atau sesuatu yang harus diangkat, dikejar karena belum berhasil mencapai target.
Salah satu catatan nostalgia itu diantaranya Indonesia memiliki 74.910 Desa, dengan 941 kawasan perdesaan, 187 lokasi prioritas Kecamatan terluar di 41 Kabupaten/Kota di perbatasan negara. Ada 388 (78 %) Kabupaten/Kota risiko tinggi rawan bencana, 109 (22 %) Kabupaten/Kota risiko sedang rawan bencana, 619 kawasan transmigrasi, 122 daerah tertinggal, 58 Kabupaten rawan konflik, 67 kabupaten memiliki pulau kecil dan terluar serta 57 Kabupaten rawan pangan. Data ini sempat menjadi salah satu daftar menu dalam rapat kerja kesehatan nasional (rakerkesnas) tahun ini oleh Kementerian Desa Februari-Maret lalu di Jakarta.
Sejarah mencatat Indonesia sudah merdeka 72 tahun yang lalu. Belum lama ini, pemerintah memprediksi tahun 2030, Indonesia masuk menjadi 7 besar negara dengan kekuatan ekonomi dunia. Semoga kita tidak jumawa dan lupa diri, bahwa kita masih menyimpan catatan persoalan 10,49 juta penduduk miskin, 33,2 % balita mengalami masalah gizi stunting, dan 46 % atau 34.479 desa adalah desa tertinggal yang dihantui berbagai ancaman kesehatan. Haruskah kita merasa aneh dengan hal itu?. Mungkin masalah akses dan kondisi wilayah inilah yang membuat negara ini terseok-seok dan bahkan jatuh bangun dalam mengejar target pemerataan pembangunan kesehatan yang masih terlalu jauh, meskipun RPJMN mentargetkan akses kesehatan sudah mulai mantap di tahun 2019.
Masih adakah yang aneh? Jika karena karena akses yang buruk, minimnya tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan menjadi salah satu pemantik masalah kesehatan yang berdampak kepada kesejahteraan bagi wilayah terluar, tertinggal dan perbatasan. Lalu apakah kita tidak perlu merasa aneh dengan wilayah yang akses, tenaga dan fasilitas kesehatanya sudah jauh lebih baik? Meskipun secara teori, semua fasilitas itu bisa menjamin sebuah wilayah yang maju dan akses lebih baik, masuk zona aman dengan masalah kesehatan minimalis.
Ternyata tidak sepenuhnya demikian, masih ada catatan yang membuktikan bahwa Pulau Jawa yang akses, tenaga kesehatan maupun fasilitas pelayanan kesehatanya jauh lebih baik dibandingkan daerah lain justru masih juga memiliki raport merah untuk kesehatan. Raport itu khususnya ada pada kasus kematian ibu dan respon cepat Kejadian Luar Biasa (KLB). Laporan rutin kesehatan Ibu tahun 2015-2016 menampilkan ada 8 provinsi yang jumlah kematian ibu mengalami kenaikan. Provinsi itu diantaranya Maluku, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Yogyakarta, DKI Jakarta, Gorontalo, Jawa Timur dan Jambi.
Bahkan untuk respon cepat KLB di Banten hanya 37%, Jawa Barat 43%, Jawa Timur 35% dan Jawa Tengah 28% menjadi rekor terkecil se Jawa. Cakupan itu masih jauh lebih kecil dibandingkan respon cepat KLB di Papua yang bisa mencapai 42%, lebih kecil dari rata-rata nasional 59% dan masih jauh dibawah target Nasional 70%. Hanya Yogyakarta dan Jakarta yang melebihi target nasional untuk wilayah pulau Jawa. Bahkan Riau menjadi yang terbaik 100%. Lalu tidak bolehkah kita merasa aneh dengan catatan yang seperti ini? Supaya lebih meyakinkan, sejenak kita lihat gambar mapping Respon KLB nasional tahun 2017 berikut ini.
Tidak cukup berhenti disitu saja, Indonesia masih punya catatan menarik lainya. Sebuah potret fasilitas kesehatan ibarat salah satu bagian kendaraan sistem kesehatan. Sesuai catatan Susenas 2013 dan potensi desa 2014, ada 61,1% Desa tidak memiliki poskesdes, 69,64% Desa tidak memiliki Puskesmas Pembantu, 79,91% Desa tidak memiliki Polindes, 91% Desa tidak memiliki poliklinik dan 89,08% Desa tidak memilki sarana apotek. Artinya Sebagian besar Desa belum mendapatkan pelayanan dasar secara baik dan utuh. Disisi lain berita yang muncul di publik, program desa sehat milik Kemendes yang juga menggandeng Kemenkes akan membangun 50.000 ribu rumah sehat sebagai program baru mengatasi kekurangan sarana kesehatan di Desa tersebut untuk menjamin 2 jenis tenaga kesehatan saja.
Lalu bagaimana dengan nasib kesehatan masyarakat desa kedepan? Catatan pribadi menemukan lebih dari 95% Desa belum ada tenaga kesehatan masyarakat Desa. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2015 menyimpulkan bahwa setengah warga Negeri ini hidup dan tinggal di Perdesaan. Tahun 2030 diprediksi masyarakat perdesaan akan jauh lebih besar dari pada perkotaan. Ya mungkin kita harus membiasakan bahwa catatan itu bukanlah sesuatu yang aneh untuk masa depan kesehatan masyarakat negeri ini.
Catatan Kemendes saat rakerkesnas lalu juga menunjukan potret di daerah tertinggal. Rata-rata jarak yang dibutuhkan untuk mencapai puskesmas rawat inap dan non rawat inap bisa mencapai 33,2 km dan 30,1 km. Itu sama dengan 3 kali lebih jauh dibandingkan daerah maju dan 2 kali lebih jauh dibandingkan rata-rata nasional. Sayangnya, catatan itu hanya menunjukkan jarak tanpa diikuti kondisi suatu jalan. Faktanya selain jarak tempuh yang jauh, masih ada kondisi jalan yang tidak menentu. Apakah darat berlumpur, banjir, pegunungan, sungai yang deras, bebatuan, laut atau daerah rawan konflik.
Sebagian potret kondisi dan akses daerah tertinggal seperti itu juga pernah tercatat di headline kompasiana yaitu Lucunya Kebijakan Kesehatan Negeri dan Penjajahan Kesehatan di masyarakat. Sekilas potret kondisi jalan seperti itu semakin meyakinkan bahwa meskipun jarak tempuh antara daerah tertinggal dan maju itu sama, tetapi karena kondisi geografis yang berbeda, bisa mengakibatkan waktu tempuh yang jauh lebih lama. Ditambah berbagai resiko perjalanan yang sangat menantang adrenalin.