Laut Cina Selatan (LCS) merupakan sebuah kawasan perairan dan gugusan kepulauan yang terdiri dari dua Pulau besar yaitu Spratly dan Paracels. Luas dari kawasan ini membentang melewati beberapa Negara, mulai dari Selat Malaka (Singapura) sampai ke Selat Taiwan (Nainggolan, 2013). Kawasan ini memiliki 3,5 juta kilometer persegi dan sumberdayanya diperebutkan oleh beberapa Negara termasuk China, Taiwan, Vietnam, Filipina, Indonesia dan Malaysia (Gau, 2012; Vujakovic, 2020). Perebutan kawasan ini telah berlangsung sejak lama dan menyimpan sisi historis dari masing-masing Negara yang saling klaim.
Berdasarkan latar belakang sejarahnya, LCS merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari gugusan kepulauan Boengoeran (Natoena) dan Anabas yang telah diatur dalam surat Komisaris Inspektur untuk daerah Borneo (Kalimantan), Riau dan Lingga pada 1 Maret 1830 nomor 22 (Arsip Nasional RI (ANRI), Riouw no. 73/10 (5)). Demikian juga telah diinformasikan bahwa berdasarkan Traktat London pada 1784, Sultan Lingga adalah bawahan Belanda dan karena itu, daerahnya secara resmi ada di bawah kekuasaan Pemerintah Belanda, dan berdasarkan pada Traktat London pada 17 Maret 1824, kepulauan yang terletak di sebelah Selatan Singapura adalah masuk dalam kekuasaan Pemerintahan Belanda (ANRI, Riouw no. 73/10 (2)). Berdasarkan hal tersebut di atas, menunjukan bahwa LCS sudah masuk ke dalam wilayah Kasultanan Riau termasuk pulau-pulau yang ada di sekitarnya dan hal ini menunjukan bahwa kedaulatan LCS sudah tidak bisa diganggu gugat lagi.
Setelah Indonesia Merdeka pada 17 Agustus1945, selanjutnya berdasarkan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, telah disepakati bahwa wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Hindia Belanda, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara, Portugis Timur, dan Papua seluruhnya termasuk pulau-pulau sekelilingnya (ANRI, Pringgodigdo no, 5645). Hal ini menunjukan bahwa wilayah kedaulatan RI sangat luas termasuk di dalamnya LCS dan pulau-pulau diselilingnya. Sekali lagi dinyatakan bahwa LCS sejak masa kolonial sampai saat ini merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari kedaulatan NKRI.
Namun dalam perkembangannya, bahwa beberapa negara tetangga seperti Tiongkok, Indonesia, dan Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Brunei Darussalam telah mengklaim bahwa LCS merupakan bagian dari negara-negara tersebut. Sengketa LCS dimulai sejak tahun 1974 dengan melibatkan enam negara yang mengklaim wilayah tersebut sebagai hak berdaulatnya (Arkarezta Salsabila Elnaden, 2019). Indonesia, Cina, dan Taiwan atas perairan di timur laut Kepulauan Natuna (Klaim Indonesia atas ZEE di perairan di timur laut Kepulauan Natuna); Filipina, Cina, dan Taiwan atas Scarborough Shoal; Vietnam, Cina, dan Taiwan atas perairan di barat Kepulauan Spratly; Beberapa atau semua pulau diperebutkan oleh Vietnam, Cina, Taiwan (klaim penuh), Brunei, Malaysia, dan Filipina (klaim sebagian); Kepulauan Paracel diperebutkan oleh RRC/ROC dan Vietnam; Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Vietnam atas perairan di Teluk Thailand; Singapura dan Malaysia atas perairan sekitar Selat Johor dan Selat Singapura (Arkarezta Salsabila Elnaden, 2019).
Keterlibatan Indonesia dengan konflik kawasan Laut China Selatan dimulai sejak terbitnya Peta Baru Malaysia pada Desember 1979 yang melibatkan Pulau Sipadan-Ligitan (Maksum, 2017), yang kemudian berlanjut dengan munculnya klaim mutlak China pada tahun 2012 atas kepemilikan seluruh wilayah perairan baik kepulauan maupun pulau dikawasan Laut China Selatan (Roza et al., 2013), yang kemudian dirasa akan mengancam kepentingan dan kedaulatan bangsa Indonesia terutama pada stabilitas kawasan laut Natuna dan perdagangan internasional. Pada 2010, Indonesia mulai "terseret" lebih jauh dalam sengketa Laut China Selatan. Hal ini terjadi setelah Tiongkok mengklaim Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di wilayah utara Kepulauan Natuna. Klaim sepihak Tiongkok terus berlanjut dan memuncak pada 2016 ketika kapal penangkap ikan asal Tiongkok melakukan aktivitas penangkapan ikan ilegal di perairan Natuna.
Sudah tentu bahwa konflik yang terjadi di LCS dapat mengganggu kedaulatan di wilayah NKRI, termasuk warga negara yang mendiami wilayah tersebut, baik dari segi politik, ekonomi, sosial dan budaya serta keamanan. Agar konflik yang terjadi ini tidak berlarut-larut yang pada gilirannya dapat menyengsarakan penduduk yang berada di sekitarnya, maka diperlukan suatu bukti autentik yang dapat segera menyelesaikan konflik tersebut, salah satunya adalah arsip. Arsip dalam konteks ini adalah sebagai bukti autentik untuk memperkuat kedaulatan di wilayah LSC. Adanya bukti-bukti tersebut menunjukan bahwa LSC merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kedaulatan NKRI. Arsip juga berperan dalam menjaga stabilitas keamanan dan politik negara. Dengan demikian, arsip bukan hanya sekadar kumpulan dokumen, tetapi juga merupakan khazanah sejarah yang strategis untuk menjaga identitas bangsa Indonesia bagi generasi yang akan datang. Oleh karena itu, upaya pelestarian arsip perbatasan sangat penting agar memori kolektif bangsa dapat terus didiseminasikan dengan baik sampai masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA/ SUMBER REFERENSI:
Gau, M. S. T. (2012). The U-Shaped line and a categorization of the ocean disputes in the South China Sea. Ocean Development and International Law, 43(1), 57--69. https://doi.org/10.1080/00908320.2012.6 47499
Maksum, A. (2017). Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan. Jurnal Sosial Politik, 3(1), 1--25. https://doi.org/10.22219/.v2i2.4398
Nainggolan, P. P. (2013). Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan. P3DI Setjen DPR Republik Indonesia. http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_ tim/buku-tim-public-25.pdf
Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan 130 | v o l u m e 8 n o m o r 2. Jurnal Lembaga Ketahanan Nasional Republik Indonesia Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR Republik Indonesia dan Azza Grafika.