Pandemi virus corona bukan lagi menjadi masalah di dunia medis. Semakin luas penyebaran dan tingkat kematian penyakit tersebut membuat negara-negara di dunia berpacu dengan waktu dan ketidaksiapan mereka untuk segera mencari solusi yang tepat. Beberapa cara yang dicoba oleh banyak negara yang terdampak virus corona adalah karantina wilayah (lockdown) dan social distancing. Penerapan metode penguncian dan pemisahan sosial di satu sisi dapat menekan penyebaran infeksi seperti yang dialami China dan Korea Selatan.
Namun, kebijakan ini juga memiliki konsekuensi yang tak kalah menyakitkan. Kedua cara tersebut dapat mematikan perekonomian di daerah yang menerapkan kebijakan ini. Terakhir,apabila kebijakan yang diambil tidak dikelola dengan persiapan yang memadai, maka kebijakan ini berpotensi memicu konflik sosial.
Dampak virus corona telah menyebabkan kerentanan ekonomi bagi sebagian besar penduduk dunia, terutama mereka yang berpenghasilan rendah. Pada akhirnya, hal ini berdampak pada penurunan kelas sosial secara besar-besaran di masyarakat. Virus corona tidak hanya menyebabkan kematian, tetapi juga melahirkan orang miskin baru.
Indonesia merupakan negara yang tercatat dengan angka kematian akibat Pandemi Covid-19 (Coronavirus) tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Hingga 12 Mei 2020, terdapat 14.749 kasus virus corona dengan 1.007 kematian. Tingkat kematian akibat pandemi mencapai sekitar 6,8 persen. Rata-rata pengujian Sampel yang dilakukan sejak 2 Maret 2020 hingga 11 Mei 2020, pemerintah baru mampu menangani sekitar 1.557 sampel uji.
Kondisi ini tidak terlepas dari buruknya respon dan tindakan Pemerintah Indonesia dalam menangani isu virus Corona. Respons pemerintah Indonesia diwarnai dengan pernyataan yang terkesan meremehkan virus corona dan penanganannya yang lamban. Para Pakar Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) bahkan menyatakan bahw virus tersebut diprediksikan telah masuk ke Indonesia sejak minggu ke-3 Januari 2020.
Pandemi virus corona telah berdampak sistematis dan multidimensi pada semua aspek kehidupan. Secara ekonomi, pandemi virus corona telah memberi banyak efek pada sektor ekonomi, seperti runtuhnya dunia usaha, kemiskinan, dan kelaparan. Secara sosial, pandemi virus corona juga telah menimbulkan kehebohan konflik, konflik ketidakharmonisan akibat kemiskinan, konflik agama dan ibadah, bahkan konflik konfrontatif akibat kebijakan pemerintah yang tidak tepat.
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk mengantisipasi ancaman yang ditimbulkan oleh pandemi virus corona. Salah satunya melalui perbaikan, baik fiskal maupun moneter yang dituangkan dalam Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara. Kebijakan tersebut seperti menyusun program dan realokasi anggaran untuk menghadapi dampak yang ditimbulkan oleh pandemi virus corona.
Menurut Frost & Wilmot (1978) Konflik merupakan sebagai suatu perjuangan yang diekspresikan antara sekurang-kurangnya dua pihak yang saling bergantung, yang mempersepsi tujuan-tujuan yang tidak sepadan, imbalan yang langka, dan gangguan dari pihak lain dalam mencapai tujuan mereka.
Masalah pemenuhan kebutuhan dasar menjadi pemicu utama yang mendorong masyarakat untuk melakukan protes dan melakukan kekerasan. Ted Robert Gurr menjelaskan fenomena ini dalam hal kesulitan relatif.
Secara sederhana, konsep ini menjelaskan bahwa orang menganggap bahwa mereka memiliki hak-hak dasar yang melekat padanya. Di sisi lain, sebenarnya mereka tidak dapat memenuhi semua hak tersebut karena terhalang oleh struktur sosial yang ada di dalamnya. Kesenjangan antara keduanya, atau ketika "harapan" tidak sesuai dengan "kenyataan", akan membuka peluang ketidakpuasan dan protes (Gurr 1971).
Menurut Johan Galtung Kekerasan bisa saja terjadi dalam hal suatu konteks kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dipenuhi untuk mencukupi kehidupan sehari-harinya. Mengenai kondisi ini, Johan Galtung menawarkan konsep konflik struktural (Structural Conflict Concept) dalam memandang hubungan antara kekerasan dan status kelas sosial dalam masyarakat.