Lihat ke Halaman Asli

Agus Esjee

Pria pejalan kaki

Merdeka yang Tidak Merdeka

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tujuh belas Agustus merupakan tanggal yang begitu bermakna bagi bangsa Indonesia. Enampuluh delapan tahun yang lalu, pada tanggal tersebut bangsa Indonesia kali pertama mendeklarasikan kemerdekaannya setelah ratusan tahun dibawah kendali penjajah. Berbagai penderitaan akibat penjajahan, seolah-olah akan segera berakhir.

Namun, tampaknya harapan tersebut tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Bahkan di usia yang ke enampuluh delapan tahun ini, berbagai persoalan masih menimpa sebagian besar masyarakat. Masyarakat masih belum dimerdekakan dari penderitaan, dan kesejahteraan pun tak beranjak dari kubang lumpur.

“Kemerdekaan” yang dijalani selama enampuluh delapan tahun ini ternyata belum mampu memerdekakan bangsa ini dari banyak hal. Dari kemiskinan, ketiadaan akses kebutuhan dasar lain seperti; air bersih, sanitasi, pelayanan kesehatan, perumahan dan juga pendidikan. Tak kalah penting, bahwa kita juga belum merdeka dari pengaruh iklan yang sanggup memutarbalikkan cara berpikir kita.

Bombardir iklan di berbagai media kerap memberikan informasi yang justru menyesatkan konsumen. Salah satunya adalah iklan rokok. Kesan keren, macho, cool, sehat dan berjiwa petualang, sangat sukses dicitrakan oleh industri rokok untuk mengelabui generasi penerus kita. Celakanya, kondisi semacam ini “difasilitasi” oleh negara dengan tidak adanya peraturan iklan rokok yang komprehensif.

Layaknya tidak mengerti dampak iklan rokok, komitmen pemerintah sangat lemah dalam memerdekakan generasi muda dari paparan iklan rokok yang menyesatkan. Menurut data Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), 99 persen remaja melihat iklan rokok di televisi, 83 persen pernah melihat di media cetak. Iklan rokok bahkan mampu menstimulus 46,3 persen remaja untuk menghisap rokok, serta membatalkan niat berhenti menghisap rokok. Dan 41,5 persen remaja menganggap keterlibatan kegiatan yang disponsori oleh industri rokok memiliki pengaruh untuk mulai merokok.

Hingga detik ini, di Indonesia memang belum ada secuilpun peraturan yang melarang iklan rokok, kecuali jam tayang siaran di media elektronik yang diatur. Itupun masih kerap diakali dengan bungkus iklan korporat. Sementara di media cetak, online dan luar ruang tidak ada aturan yang jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan, bahkan mengakomodir iklan luar ruang hingga seluas 72m²! (pasal 31).

Sebagai acuan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam hal iklan, PP No. 109 Tahun 2012 tidak lebih baik dari PP No. 81 Tahun 1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 ini membatasi iklan rokok hanya boleh di media cetak dan media luar ruang saja. Sayang, Peraturan Pemerintah ini akhirnya diamandemen seiring surutnya kepemimpinan Habibie.

Lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 yang semula digadang-gadang sebagai payung hukum pengendalian tembakau, masih jauh panggang dari api. Bukti kentara adalah dengan tetap membiarkan “penjajahan” oleh industri rokok melalui iklan, promosi dan sponsorship. Lemahnya regulasi dimanfaatkan betul oleh industri rokok untuk membangun citra bahwa merokok identik dengan jiwa muda penuh tantangan.

Bukan tanpa alasan jika kaum muda adalah sasarannya. Kelompok ini menjadi pelanggeng bisnis dan investasi jangka panjang industri rokok. Tanpa regenerasi perokok, bisnis nikotin akan gulung tikar. Tak pelak, iklan dikemas sedemikian kreatif dengan memutarbalikkan fakta.

Keinginan menjerat kaum muda juga nampak dari model sponsorship yang digelontorkan industri rokok. Salah satu yang teramat gamblang adalah sponsorship penyelenggaraan festival musik. Bagi kalangan muda, festival musik tentulah acara yang sangat menggairahkan. Mereka bertemu dengan teman-teman sehobi, iringan musik, gadis-gadis cantik atau lelaki tampan, dan tentu saja rokok murah (bahkan gratis). Cukup menjadi pemikat remaja memasuki dunia adiksi nikotin.

Selain musik, industri rokok juga memanfaatkan even olah raga untuk menjaring pangsa pasar anak muda. Terlalu mudah menyebut jenis olahraga seperti sepak bola, badminton, balap motor dan futsal yang berbau ”asap rokok”. Celakanya, jenis olah raga tersebut memiliki penggemar yang teramat banyak dari kelompok remaja. Munculnya kompetisi olahraga dengan embel-embel merek/perusahaan rokok bukanlah sebuah kebetulan, tetapi menjadi strategi industri untuk mendekatkan pangsa pasar mereka, yaitu kaum muda.

Ketentuan dari pasal 113 Undang-undang No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyatakan bahwa tembakau dalam rokok dinyatakan sebagai zat adiktif yang peredarannya perlu diatur, tidak cukup kuatmengendalikan peredarannya. Bisa jadi karena Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia Pacific yang belum meratifikasi konvensi kerangka kerja untuk pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC), yang salah satu pasalnya mengatur tentang promosi dan iklan rokok.

Larangan Parsial

Dalam hal pelarangan iklan rokok, Indonesia jauh tertinggal dari Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina bahkan Kamboja. Negara-negara ASEAN secara lebih maju telah melarang iklan di luar ruang, media cetak, televisi, radio, dan di tempat penjualan. Negara seperti Thailand, bahkan telah melarang iklan tidak langsung (iklan korporat) industri rokok. Dengan kata lain, negara-negara tetangga telah berhasil memerdekakan generasi mudanya dari paparan iklan rokok yang mampu memutarbalikan cara berpikir.

Jika Indonesia memiliki kemauan politik untuk melindungi generasi mudanya dari paparan rokok dan adiksi nikotin, sudah saatnya pemerintah melakukan tindakan lebih serius untuk mengendalikan peredaran rokok, termasuk melarang segala bentuk iklan yang terbukti memacu perokok baru.

Larangan hanya akan efektif jika dilakukan secara menyeluruh, tidak secara parsial. Sebab, ketika satu jenis iklan dilarang, maka industri rokok dengan sumber daya dan dana yang tak terbatas akan segera beralih secara maksimal ke jenis iklan yang lain. Jangan sampai regulasi yang ada hanya menjadi bahan ”olok-olok” industri rokok dengan seruan untuk tetap merokok, do it!.

@agus_esje

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline