Salam sejahtera Bapak Presiden,
Belum juga hilang dari ingatan tentang kasus Sandy dan Randy, si bocah perokok, tiba-tiba kita dihentakkan lagi dengan kisah tragis seorang bocah bernama Ilham. Seperti diberitakan kompas.com, bocah berumur 8 tahun warga Kampung Karawang Girang, Desa Karawang, Sukabumi, Jawa Barat, ini sudah mulai merokok sejak umur empat tahun!. Saat ini, dia bahkan bisa menghabiskan dua bungkus rokok dalam sehari. Keprihatinan makin lengkap manakala Ilham tak mau lagi bersekolah. Hari-harinya hanya dihabiskan dengan merokok dan bermain saja. Sungguh miris mendengarnya.
Lantas kasus demikian apakah kesalahan akan ditimpakan pada keluarga si anak semata? Atau kepada masyarakat sekitarnya? Oh, tidak bisa. Justru kesalahan mendasar terletak di pundak Anda sebagai pemimpin Negara ini. Sebagai pemimpin Negara, Bapak Presiden telah lalai dan abai melindungi warga negaranya (termasuk Ilham) dari dampak buruk produk tembakau (rokok). Ketiadan regulasi yang mengendalikan produk-produk tembakau telah menasbihkan Negara kita sebagai Negara “asbak”.
Ya, disaat komunitas internasional memposisikan rokok sebagai public enemy, dan diperangi secara total, negara kita justru berkelindan dengan kepalsuannya. Saat ini 172 negara anggota Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menandatangani Frame Work Convention on Tobacco Control/FCTC. Sebuah konvensi yang komprehensif untuk menanggulangi dampak merusak produk tembakau, baik dari sisi kesehatan, sosial, ekonomi, dan bahkan budaya. Dan hanya Indonesia satu-satunya Negara di kawasan Asia yang tidak menandatangani. Seharusnya Indonesia juga menandatangani dan meratifikasi, sebab Pemerintah Indonesia merupakan anggota tim penyusun draft FCTC dan juga mengadopsi penuh substansinya dalam Sidang Kesehatan Dunia (WHA) pada 2003. Kini FCTC sudah menjadi hukum internasional.
Bapak Presiden Yudhoyono yang terhornat. Kami yakin Anda mengetahui dampak buruk apa yang muncul dari tidak meratifikasi FCTC dan ketiadaan regulasi tentang penanggulangan produk tembakau. Ini menimbulkan keprihatinan akan terpaparnya anak dan remaja oleh pelbagai kegiatan iklan dan promosi rokok yang jelas-jelas mencari perokok pemula sebagai targetnya.
Menurut Global Youth Tobacco Survey, menunjukan bahwa 24.5% anak laki-laki dan 2.3% anak perempuan berusia 13-15 tahun adalah perokok. Sedangkan perokok yang memulai merokok pada usia 5-9 tahun terus mengalami peningkatan. Dari 0,4% pada tahun 2001 menjadi 1,8% pada tahun 2004. Artinya, ada peningkatan 4 kali lipat hanya selama kurun waktu 3 tahun.
Bukan hanya itu, dengan jumlah konsumsi rokok mencapai 265 milyar batang pertahun, telah menempatkan Indonesia sebagai Negara ketiga terbesar didunia dalam hal menghisap produk racun ini. Ironisnya, 265 milyar batang tersebut 70% nya dihisap oleh masyarakat kelompok rumah tangga rentan (miskin). Kelompok rentan ini, menurut data Badan Pusat Statistik, lebih rela membelanjakan uangnya untuk membeli rokok ketimbang untuk kesehatan, telor, susu dan pendidikan. Belanja rokok hanya dikalahkan oleh belanja padi-padian.
Apakah Bapak perlu bukti? Berikut kisah nyata yang patut kita renungkan. Dalam suatu saresehan di lereng Gunung Sindoro Wonosobo, seorang petani merasa keberatan membayar iuran sekolah anaknya yang kelas III SD, sebesar Rp 7.000/bulan, namun si petani mampu menghabiskan Rp 247.500/bulan hanya untuk merokok. Sungguh ironis bila keberatan dengan biaya pendidikan yang 30 kali lebih kecil dari belanja rokoknya.
Kisah Ilham diatas juga menjadi bukti sangat konkrit. Dengan 2 bungkus rokok perhari (misalnya harga Rp 9.000 perbungkus) berarti dalam sehari Ilham menyedot anggaran belanja rumah tangga sebesar Rp 18.000 atau Rp 540.000 sebulan. Belanja rutin rumah tangga rentan yang mana dapat menandingi pengeluaran tersebut?
Bapak Presiden Yudhoyono yang terhormat. Benar, bahwa Pemerintah mendapatkan dana cukai Rp 65 trilyun, plus ratusan ribu buruh/petani yang terserap oleh industri nikotin ini. Namun pada saat bersamaan pemerintah dan masyarakat Indonesia justru menggelontorkan dana empat kali lipat untuk menanggulangi penyakit akibat merokok.
Oh, ya, dalam hal cukai rokok pemerintah juga inkonsisten dengan kebijakannya. Menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai (Pasal 2). Disebutkan dengan tegas bahwa barang yang dikenai cukai adalah barang yang bisa menimbulkan dampak eskternalitas, maka konsumsinya harus dikendalikan. Tetapi, dalam kasus rokok yang jelas-jelas dikenai cukai, Pemerintah praktis tidak mengendalikan (membatasi) konsumsi rokok, baik dari sisi penjualan, pemasaran, plus iklan dan promosi. Sementara produk lain seperti Bir, pemerintah dengan ketat melakukannya.
Dan yang membuat kami sedih, pengalokasian dana bagi hasil cukai tembakau tidak dialokasikan untuk pengendalian dampak buruk produk tembakau. Justru sebaliknya untuk pemberdayaan industri rokok, khusunya industri kecil. Apakah ini bukan paradigma yang keliru? Seharusnya, kalau instrumen cukai efektif untuk mengendalikan konsumsi rokok, maka anak-anak, remaja dan masyarakat miskin tak akan mampu mengakses rokok
Bapak Presiden Yudhoyono yang terhormat. Disisi lain, mengutip dari kompas.com, tahun ini, dua bersaudara pewaris perusahaan Djarum masih menjadi orang terkaya di Indonesia. Berdasarkan 2011 Billionaires List yang dikeluarkan Forbes, Rabu (9/3/2011) waktu setempat, posisi ke-1 dan ke-2 orang terkaya di Indonesia ditempati Budi Hartono dan Michael Hartono.
Memang tidak ada yang salah untuk menjadi orang kaya, bahkan terkaya sekalipun. Namun, keironian mencuat ketika kekayaan disumbang dari hasil menjual produk nikotin kepada masyarakat, yang menurut BPS justru sebagian besar adalah masyarakat rentan. Boleh jadi, beliau memiliki bisnis lain, namun industri rokoknya tetap memiliki andil untuk mengantar sebagai orang terkaya.
Bapak Presiden, dari beberapa fenomena diatas, kami menuntut kehadiran Negara yang sedang Anda pimpin untuk mengatasi hal tersebut. Bukan memiskinkan orang terkaya, bukan. Tetapi kehadiran Negara dalam ujud yang elegan dengan menelorkan regulasi yang komprehensif untuk pengendalian konsumsi produk tembakau. Sekali lagi, hanya mengendalikan, tidak melarang, apalagi menutup industri rokok! Ini perlu dilakukan untuk melindungi generasi kita.
Tidak sulit untuk melakukan hal itu; batasi penjualan dan pemasarannya, larang iklan dan promosi rokok, tegakkan kawasan tanpa rokok, serta naikkan cukai rokok. Tanpa ada pengendalian semacam itu, konsumsi rokok akan terus mewabah. Anak-anak, remaja serta masyarakat miskin menjadi korban masalnya, dan fenomena baby smoker bak gunung es yang terus akan mengusik keprihatinan kita.
Sudah saatnya Pemerintah melahirkan regulasi yang kuat dan komprehensif untuk mengendalikan konsumsi rokok, jika tidak ingin dikatakan melegitimasi proses pemiskinan dan memangkas generasi cerdas.
Salam Hormat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H