Bali, sebuah kata yang identik dengan pantai eksotis, turis berjejer yang sedang berjemur topless, berbagai aktivitas dan kehidupan malam yang gegap gempita, seolah menawarkan surga dunia yang tak terbatas bagi 8 juta wisatawan asing yang berkunjung setiap tahunnya.
Deretan hotel dan resort di sepanjang bibir pantai, pilihan cafe dan restoran yang tak terhingga menawarkan sajian menu makanan untuk memenuhi semua selera. Kesegaran fruit punch cocktail, buah-buahan tropis, makanan internasional mampu menggugah siapapun yang berkunjung ke Bali.
Semua fenomena ini identik dengan Bali, sebuah pulau surga pariwisata di masa kini.
Namun demikian, dengan jarak hanya 45km dari Pusat Kota Denpasar, sekitar 1 jam perjalanan ke arah utara kita akan sampai pada satu desa yang mampu memutarbalikkan pemahaman kita selama ini tentang Bali.
Sesaat kaki kita melangkah masuk ke pintu gerbang desa tradisional ini, kita akan disuguhi dengan pengalaman yang berbeda. Ketenangan, kebersihan, kedamaian, kesan spiritual dari nuansa Bali pada abad lampau seolah terbangun kembali pada masa kini.
Pengalaman masa lalu yang begitu otentik, disajikan pada masa kini. Seperti sebuah museum kebudayaan Bali yang hidup, yang bernama Desa Penglipuran.
Sesaat begitu melangkah ke dalam kompleks desa yang berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, kita akan disambut dengan hawa sejuk menyegarkan khas dataran tinggi berpadu dengan hijau dedaunan berhias warna-warni beraneka bunga di sepanjang jalan desa mengundang setiap pengunjung untuk masuk lebih dalam menikmati jengkal demi jengkal desa berpenduduk 985 jiwa itu.
Kita akan menyaksikan deretan rumah adat khas Bali yang unik dengan penatan tata ruang yang seragam. Di sepanjang jalan koridor desa yang membujur dari utara ke selatan hanya digunakan untuk pejalan kaki, tidak ada kendaraan bermotor yang diperkenankan beroperasi di dalam desa ini.
Sisi kanan kiri jalan koridor menuju ke atas terdapat deretan rumah-rumah dengan bentuk bangunan dan bahan yang dipakai sama antara yang satu dengan yang lain.
Seluruh bangunan rumah menghadap ke arah timur. Akses utama menuju pekarangan setiap rumah berupa pintu gerbang kecil beratap susunan bambu. Gerbang hanya bisa dilalui satu orang, disebut "angkul-angkul".
Semua rumah dengan seragam dilengkapi dengan atribut struktur desa seperti: tembok penyengker, angkul-angkul, dan telajakan yang seragam, serta atap dari bambu yang dibelah untuk seluruh bangunan desa. Kondisi seperti ini, mengikuti konsep tata ruang klasik Bali, Tri Hita Karana yaitu seperti tubuh manusia yang memiliki kepala, badan dan kaki.