Lihat ke Halaman Asli

Analisis dari Kebijakan Kampus Merdeka, Memerdekakan atau Memperbudak?

Diperbarui: 10 Maret 2020   20:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Nadiem makarim kembali dengan langkah revolusionernya dalam bidang pendidikan yang sebelumnya menghapus UN (ujian nasional) dan menggantikannya menjadi asesmen kompetisi minimum dan survei karakter hingga pada tanggal 24 januari 2020 nadiem mengeluarkan kebijakan yang bernamakan "merdeka belajar: kampus merdeka". 

Kebijakan tersebut memiliki empat poin inti seperti pembukaan prodi yang di permudah, sistem akreditasi yang dibuat mudah dan kapanpun bisa, karpet merah bagi PTN BLU (badan layanan umum) dan SATKER jika ingin menjadi PTN BH (berbadan hukum), dan belajar diluar prodi, serta pengubahan definisi dari SKS. 

Kebijakan kampus merdeka ini sudah memiliki payung hukum yaitu permendikbud no.3 tahun 2020 tentang standar nasional perguruan tinggi, permendikbud no.4 tahun 2020 tentang perubahan perguruan tinggi menjadi PTN BH, permendikbud no.5 tahun 2020 tentang akreditasi perguruan tinggi dan prodi, permendikbud no.7 tahun 2020 tentang pendirian, perubahan, pembubaran PT dan PTS.

Nadiem sangat mengelu-elukan kebijakan ini yang dimana menurutnya kebijakan ini melepas belenggu kampus agar lebih mudah bergerak dan diharapkan mahasiswa kedepannya sudah sesuai dengan apa yang dibutuhkan pasar. Berbicara masalah pasar tak ayal dan tak bisa lepas dari peran seorang kapitalisme. 

Menurut Slavoj zizek seorang filsuf psikoanalitik asal Slovenia menggunakan teori le grand autre (yang-lain besar) yang dimana teori ini berdasarkan dari seoring filsuf bernama Jacques lacan. 

Zizek menggunakan teori tersebut dalam memandang kebudayaan kapitalis yang menurutnya "hasrat apapun yang kita miliki selalu dikondisikan oleh kekuatan kapital". 

Penulis menganalogikan teori tersebut seperti, ketika kita lulus/belum dari sebuah perguruan tinggi (PT) pastinya kita memiliki hasrat untuk langsung mendapatkan pekerjaan atau langsung menjadi seorang pekerja dalam hal tersebut keinginan atau hasrat itu tak jauh andil dari seorang kapitalis yang notabene sangat takut terhadap inovasi-inovasi yang bisa menggerus usaha mereka. Bagaimana seorang mahasiswa akan dituntut hanya akan menjadi karyawan. 

Oleh karena itu kita sebagai mahasiswa harus terus mengkrtisis kebijakan-kebijakan baru pemerintah agar tidak menjadi penyesalan kedepannya.

Pertama, di permudahnya pembukaan prodi, dalam hal ini penulis setuju dan sekaligus skeptis tentang bagaimana dipermudahnya pembukaan prodi disini bukan hanya mengutamakan masalah relevansi dengan pasar tetapi juga memperhitungkan masalah keilmuaan dan melaksanakan sebagaimana yang terdapat didalam pasal 31 UUD 1945 ayat 3 yang berbunyi "pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang dimana diatur dalam UUD. 

Bagaimana nantinya sebuah prodi bisa juga melatih mahasiswa untuk berakhlak mulia sekaligus meningkatkan takwa mereka. Masih adanya pengecualian bagi prodi bidang kesehatan dan pendidikan tentunya akan menimbulkan pertanyaan seperti "merdeka dalam kebijakan ini untuk siapa?" sedangkan dalam bidang kesehatan sendiri ada jurusan yang sangat dipelukan seperti jurusan radiologi, jurusan keselamatan dan kesehatan kerja dll. 

Dan yang paling membuat risau didalam dipermudahnya pembukaan prodi ini ialah terjadinya komersialisasi pendidikan yang dimana pembukaan dari sebuah prodi bukannya berorientasi kepada keilmuan maupun terapan, tapi malah hanya menjadi sumber tambahan pemasukan bagi kampus dan jika itu terjadi tentunya sangat mencoreng esensi dari sebuah perguruan tinggi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline