Pengembangan sumber energi bersih DME diharapkan dapat mengurangi impor sumber LPG. Pertamina juga tidak perlu merugi karena menjual LPG di bawah harga keekonomian. Benarkah?
Masih ingat dengan program substitusi minyak tanah dengan LPG (liquefied petroleum gas) pada tahun 2007? Ya, kini program itu berimbas terhadap kebutuhan LPG yang terus meningkat dari tahun ke tahun di sektor rumah tangga seiring pertumbuhan ekonomi masyarakat dan jumlah penduduk.
Keluarga Indonesia relatif cepat beradaptasi lantaran LPG memiliki keunggulan ketimbang minyak tanah. Keunggulan LPG di antaranya memiliki nilai kalor tinggi dan besar kecilnya api mudah diatur. Selain itu, bahan bakar ini dikategorikan bersih karena tidak menimbulkan jelaga pada saat digunakan memasak dan tak menyebabkan efek bau pada makanan.
Tak heran bila Outlook Energi Indonesia 2013 yang disusun Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), meramalkan kebutuhan LPG bakal melonjak 9 juta ton pada 2030 dengan dominasi pengguna rumah tangga sebanyak 90 persen.
Celakanya, untuk memenuhi kebutuhan pada 2030 masih harus impor sumber LPG hingga 58 persen, meskipun BPPT juga memprediksi produksi LPG dari kilang domestik meningkat mencapai 3.8 juta ton per tahun seiring penambahan kapasitas kilang.
Ramalan BPPT itu tidak jauh berbeda dengan data Pertamina tahun ini. Dari total proyeksi konsumsi LPG 2014 sebesar 6,11 juta metric ton, hanya sekitar 2,5 juta metric ton berasal dari kilang domestik. Walhasil, pemenuhan kebutuhan LPG masih harus impor sekitar 59 persen.
Sebagai negara pengimpor LPG, harga dalam negeri sangat rentan dipengaruhi gejolak pasar internasional serta nilai tukar Rupiah yang tidak stabil. Ketika harga LPG di pasar Internasional naik dan nilai tukar Rupiah turun, harga LPG lokal terkena imbas.
Ujung-ujungnya, Pertamina bakal merugi bila tidak melakukan penyesuaian harga hingga pada tingkat keekonomian. Perusahaan pelat merah ini mengaku tekor sejak 2009 - 2013 hingga 17 Trilyun rupiah. Apabila harga bahan baku dan kurs lebih besar akan berpotensi rugi lebih besar.
Harga Keekonomian
Permasalahanya, setiap kali Pertamina berencana menaikan harga LPG secara berkala hingga mencapai tingkat keekonomian, muncul gejolak di masyarakat dengan berbagai dalih. Buktinya, belum lama ini masih tersiar kabar penolakan sebagian masyarakat terhadap kenaikan harga LPG 12 Kilogram (Kg), mulai kekhawatiran terjadinya inflasi hingga isu migrasi pengguna LPG 12 Kg ke LPG 3 Kg.
Dengan segala pertimbangan, Pertamina akhirnya memberlakukan penyesuaian harga sebesar 1.500 Rupiah per kg (nett Pertamina) terhitung sejak 10 September 2014 pukul 00.00 waktu setempat. Kini rata-rata harga jual LPG 12 Kg di agen dari 7.731 Rupiah per kg atau 92.800 Rupiah per tabung, menjadi 9.519 Rupiah per kg atau 114.300 Rupiah per tabung.
Harga LPG itu sejatinya belum mencapai tingkat keekonomian sebesar 15.110 Rupiah per kg atau 181.400 Rupiah per tabung. Harga keekonomian ini berpatokan dengan rata-rata CP Aramco (year-over-year) Juni 2014 sebesar 891,78 dollar AS per metric ton dan kurs 11.453 Rupiah per dollar AS, ditambah komponen biaya seperti transport, filing fee, margin agen, dan PPN.
Oleh sebab itu, Pertamina merancang peta jalan (road map) kenaikan harga jual LPG 12 Kg secara bertahap hingga mencapai harga keekonomian pada 2016. Setelah penyesuaian harga tahun ini, Pertamina bakal menaikan harga lagi dengan estimasi ditangan konsumen 12.250 Rupiah per kg atau 147.000 Rupiah per tabung pada 2015. Selanjutnya, harga dikerek lagi dengan estimasi ditangan konsumen 14.660 kg atau 175.900 per tabung pada 2016.
Energi Baru Terbarukan
Namun, penanganan dengan menaikan harga tersebut sejatinya tidak menyelesaikan permasalahan Indonesia ketergantungan terhadap impor sumber LPG . Untuk itu perlu adanya trobosan penggunaan energi baru terbarukan (EBT) dari sumber lokal yang sejenis dengan LPG sebagai komplementer, bahkan subtistusi.
Kajian Lembaga Minyak dan Gas Bumi (LEMIGAS), Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), merekomendasikan peluang Dimethyl Ether (DME) sebagai bahan bakar komplementer LPG untuk sektor rumah tangga sangat besar. DME merupakan sumber energi bersih dan ramah lingkungan yang mempunyai karakteristik mirip dengan LPG. Penyimpanan DME tidak berbeda jauh dengan penanganan LPG yang telah banyak dipakai sebagai bahan bakar rumah tangga.
Istimewanya, DME merupakan merupakan senyawa ether yang dapat diproduksi dari EBT biomassa, yaitu bahan organik yang dihasilkan melalui proses fotosintesis, baik berupa produk maupun buangan. Biomassa dikategorikan EBT karena bahan organik (tumbuhan) dapat kembali tumbuh pada lahan yang sama.
Biomassa dianggap sebagai karbon netral. Menurut kajian Japan Institut of Energy, biomassa membentuk bagiannya sendiri melalui fotosintesis. Konsentrasi karbon di atmosfer tidak akan berubah karena pada saat tanaman tumbuh akan menyerap karbon dan mengembalikannya ketika dibakar.
Bersyukur, potensi biomassa di Indonesia sangat melimpah. Berdasarkan data ESDM, potensi produksi biomassa mencapai 65 juta ton per tahun. EBT sebagai bahan baku DME tersebut dapat diperoleh dari peremajaan kebun karet, sisa lodging, limbah industri penggergajian kayu, tandan kosong kelapa sawit, sabut sisa kelapa sawit, cangkang buah sawit, bagas tebu, sekam padi, tempurung kelapa, serta sabut kelapa.
Pengembangan DME
LEMIGAS telah melakukan pengujian DME pada kompor LPG yang ada di pasaran dengan hasil yang bervariasi. LPG dapat dicampur DME (LPG-Mix-DME) dengan prosentase 5 persen, 10 persen, 15 persen, 20 persen, 25 persen, 30 persen, 50 persen. Dari beberapa uji coba itu, LEMIGAS merekomendasikan untuk menggunakan campuran 5 persen DME karena tidak perlu melakukan modifikasi peralatan yang sudah ada (Koran Jakarta, 25 November 2012).
Sementara itu, BPPT merekomendasikan untuk menggunakan campuran 20 persen DME karena dapat dipakai secara langsung di kompor LPG di pasaran dan tanpa mengurangi kinerjanya. Riset Pertamina juga menyebutkan campuran 20 persen DME dan 80 persen LPG tidak membutuhkan kompor baru untuk rumah tangga (The Jakarta Post, 25 Juni 2009).
Melihat prospek pengembangan DME, Ditjen Migas bekerjasama dengan Pertamina, PT Arrtu Mega Energi telah melakukan kajian pemanfaatan DME untuk sektor rumah tangga. Berpijak pada Peraturan Menteri ESDM No. 2C Tahun 2013 tentang Penyediaan Pemanfaatan dan Tata Niaga DME, kini telah dibangun pabrik pengolahan metanol menjadi DME dengan Kapasitas 800 tahun/hari di Cilegon, Banten (Lensaindonesia.com, 21 Novemver 2013).
Namun, sejauh ini Pertamina menyatakan percampuran LPG-DME/95-5 persen belum memenuhi tingkat keekonomian penggantian infrastruktur, baik infrastruktur penyediaan maupun infrastruktur peralatan pemanfaatan (Okezone.com, 20 Oktober 2013). Perhitungan BPPT juga menyatakan harga DME, terutama dari biomassa masih belum bisa berhadapan langsung dengan LPG yang notabene masih disubsidi.
DME bisa menjadi komplementer, bahkan subtitusi dari LPG jika mendapatkan perlakuan yang sama dari Pemerintah terkait kebijakan energi. Artinya, pengembangan DME dari biomassa masih butuh dukungan dari pemerintah untuk memberikan insentif bagi pelaku usaha yang mengembangkan infrastruktur.
Upaya pengembangan DME dari biomassa ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan, yakni pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Oleh sebab itu, Pertamina seyogianya tetap mengembangkan inovasi DME yang sejalan dengan komitmen menciptakan alternatif baru dalam penyediaan sumber energi yang lebih efisien dan berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H