Jakarta itu ibarat sawah ladang yang menggiurkan. Seorang warga Sambeng Gunungkidul yang merantau ke ibu kota ini dengan optimis bisa mendulang banyak uang. Dengan bangganya bisa mengadu nasib hingga kini. Mereka bisa bicara kala mudik lebaran. Sebagai momen menggelar karyanya.
Jakarta tetap menjadi harapan bisa mengubah nasib. Harapan dari desa kala tiba disana akan menjadikan dirinya jadi orang kaya. Tak ada pikiran menjadi sebaliknya.
Siap bersaing dan kompetisi dengan sesama pendatang.
Adikku juga di Jakarta dengan ketrampilan bengkel mampu menjadi sumber ekonomi. Dan juga keberanian mengadu nasib kala harus bermotor ke Bogor saat bengkelnya pindah ditempuh 3 jam. Wadew super lambat. Belum lagi kalau hujan jalannya tak bisa dilalui motornya. Wow ia tetap semangat menjalaninya.
Lain hal dengan keponakan yang malah dapat pasangan hidup dengan warga sama-sama pendatang hanya beda asalnya. Dan malah jadi warga sana.
Juga sesepuh yang kini menjadi besan bapak, jadi dosen. Dan kini juga masih aktif mengajar. Ia bercerita dengan Jakarta dari yang ada. Soal ekonomi dan sosialnya. "Soal harga tanah per-meter yang bila dibelikan di desa dapat se-lapangan bola sepak. Saking harganya tinggi."
Mereka ke Jakarta seperti di rumah yang mewah. Menawarkan harga dan branding yang istimewa.
Aku pernah tidur di rumah kontrakan saudaraku bersama 9 orang. Teringat sampai kini saat tidur seperti ikan asin habis ruangannya. Sewanya 2000K perbulannya. Wah pengalaman yang unik.
Bahkan satu keluarga itu semuanya disana. Dan hidup sampai anak cucu juga. Demi cinta dan bangga jadi bagian warga Jakarta. Gaya bahasanya juga nampak beda. Juga gaya hidup yang lain dengan warga desa.
Soal ekonomi juga beda. Mereka sudah lama di ibu kota dan merasakan putaran uang yang kalah cepat dan besar. Lik Trimo di Jakarta jual bakso dan kini setelah tua pindah di desa dengan usaha yang sama.
Menjadi veteran pejuang dari Jakarta tetap menyisakan karya yang ampuh. Salam sukses.