Tiap zaman ada seninya. Bagiku kala kecil dulu soal takjil atau di tempatku menyebut jaburan. Warga secara bergiliran mendapat jatah membuat takjil. Biasanya bahan makanan ketela atau ubi dan kerupuk dari beras. Dinamai karak atau lempeng terbuat dari pati dan digoreng. Untuk dibawa sebagai takjil. Lebih seru saat membaginya susai sholat tarawih.
Sehingga anak-anak tak sabar nunggu hingga melakukan penyerbuan ke almari penyimpanan.
Lha ini yang jadi keunikan. Saat mereka pada shalat kami anak-anak bergerilnya menyerbu almari tempat menyimpan takjil. Bila tak diperhatikan oleh petugas. Mengambil waktu saat mereka tunaikan shalat anak-anak dibilang nakal juga boleh.
Dan ternyata masih kurang dan menunggu jatah pembagian takjil lagi yang resmi. Ini saja masih dijumpai ada yang nakal dengan mengaku belum dapat jatah. Padahal disembunyikan di balik sarung. Wow soal makannan takjil memang sungguh istimewa.
Maka takjil jadi daya tarik kuat. Sehingga mau diajak ke masjid gegara hanya cari takjil. Maklum kala tahun 70-an itu soal makan memang masih sulit. Orang kerja hanya sebatas dapat makan saja. Mereka sudah senang. Dengan membantu seseorang untuk cari pakan kerbau atau membantu ke sawah macul.
Kini era milenial sudah tak ada berburu takjil layaknya kala zaman paska kolonial itu. Ini saya cerita dengan anakku. Dan ia hanya tertawa. "Sungguh tragis nasib itu, Pak!" Kini takjil dibagikan diawal buka puasa. Sehingga seiring majunya pemikiran membuat tradisi bagi takjil usai tarawih sudah bergeser.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H