Malam Jum'at makam desa Gesikan banyak orang berziarah. Kali ini aku antar saudara ke makam.Sudah 30 hari ini saudaraku ditinggal suaminya. Sehingga masih suasana berkabung. Kepergian yang mendadak.
Selaku saudara sekandung selalu menghibur agar tak terbawa kesedihan yang panjang. "Kita sekedar sebagai pelaku. Layaknya wayang. Ada dalang yang mengatur lakon.' Pemahaman sedemikian tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh waktu lama untuk bisa menerima kenyataan.
Tak ada lagi yang diajak berdialog. Sepi dan sunyi. Biasanya ada yang antar anak ke sekolah. Kini harus dilakukan sendiri. Kala mengurus kebun yang juga ditinggalkan juga. Terbengkalai jadinya. "Ini masuk kehidupan baru. Pola hidup yang beda. Ibaratnya sayap tinggal sebelah. Tak heran bila tak bisa terbang. Kini harus berubah."
Bahwa hidup harus terus berlangsung. Janganlah patah semangat. Harus bangkit. Kita tinggal melaksanakan proses jalannya kehidupan kita. Ibaratnya sebuah perjalanan yang akan sampai pada terminal. Tempat berhenti dalam perjalanan menuju kampung abadi.
Ziarah menengok pusara saudara yang telah mendahului menghadap ke Illahi. Kita melihat di malam itu sebagai ayat. Ayat yang nyata dan dapat kita baca. Yaitu perihal hidup dan batasnya. Dan hal ini yang tak bisa ditawar. Dikala sudah tiba waktunya. Tak bisa maju dan dimundurkan barang sedetikpun.
Datang ziarah sebagai sebuah edukasi. Dari ziarah dapat sebagai pengingat kita kala masih hayat. Ada batas waktu yang diberikan kepada setiap makhluk hidup.
Makam sebagai terminal terakhir dari perjalanan hidup. Kita sebagai makhluk hidup semua masih dalam tahap perjalanan.
Butuh bekal amal kebaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H