Lihat ke Halaman Asli

Agung Webe

TERVERIFIKASI

wellness coach di Highland Wellness Resort

Subjektivitas Agama

Diperbarui: 17 Desember 2024   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perang Bosnia. Foto/REUTERS

Pernahkah Anda bertemu dengan seseorang yang keyakinannya tentang agama begitu berbeda dari Anda, namun hidupnya begitu damai, penuh kasih, dan menginspirasi? Atau sebaliknya, pernahkah Anda mendengar seseorang yang merasa keyakinannya paling benar, tapi perilakunya malah menyulut konflik atau permusuhan? Fenomena ini sering membuat kita berpikir ulang: apa sebenarnya makna agama? Dan bagaimana kita seharusnya memahaminya?

Agama, pada dasarnya, adalah wilayah yang sangat personal. Ia menyentuh inti terdalam dari siapa kita, bagaimana kita melihat dunia, dan apa tujuan hidup kita. Dalam istilah yang lebih sederhana, agama adalah subjektivitas. Bukan dalam arti mengabaikan kebenaran atau logika, tetapi dalam pengertian bahwa apa yang kita yakini benar tentang agama adalah cerminan dari pengalaman, pemahaman, dan perjalanan spiritual kita masing-masing.

 

Setiap orang memiliki perjalanan spiritual yang unik. Apa yang dirasakan sebagai "benar" bagi seseorang belum tentu dirasakan sama oleh orang lain. Misalnya, bagi seseorang, meditasi mungkin menjadi cara mendekatkan diri kepada Tuhan, sementara bagi yang lain, doa secara verbal adalah bentuk komunikasi yang paling bermakna. Keduanya valid karena masing-masing dirasakan benar dalam pengalaman batin mereka.

Namun, subjektivitas ini sering kali salah dipahami. Kita cenderung melihat keyakinan orang lain melalui kacamata keyakinan kita sendiri, lalu menilai apakah itu benar atau salah. Padahal, kebenaran dalam konteks agama tidak bisa diukur dengan alat ukur yang seragam. Ia lahir dari kedalaman hati dan pengalaman individu.

Salah satu contoh menarik adalah ketika saya berbincang dengan seorang teman yang atheis. Baginya, konsep Tuhan tidak masuk akal, tetapi ia memiliki etika dan moralitas yang luar biasa. Ia membantu sesama tanpa pamrih, hidup sederhana, dan menjaga harmoni dengan alam. Sementara itu, saya mengenal seseorang yang begitu religius, tetapi kerap kali menghakimi orang lain dan memicu konflik dalam komunitasnya. Siapa di antara mereka yang lebih "beragama"? Pertanyaan ini menggugah kesadaran saya bahwa agama bukan sekadar soal ritual atau doktrin, melainkan tentang bagaimana keyakinan itu memengaruhi tindakan kita.

 

Agama menjadi bermakna ketika ia membantu seseorang menjadi lebih baik, lebih damai, dan lebih berdaya. Keyakinan subjektif yang dimiliki seseorang seharusnya mampu mengarahkan dirinya untuk hidup dengan cara yang lebih bermakna. Misalnya, seseorang yang percaya pada konsep kasih universal akan berusaha mencintai dan menghormati orang lain, terlepas dari perbedaan keyakinan. Atau seseorang yang yakin bahwa semua makhluk adalah ciptaan Tuhan akan menjaga lingkungan dan bersikap welas asih terhadap hewan.

Keyakinan yang seperti ini bukan hanya membuat hidup seseorang lebih baik, tetapi juga berdampak positif pada orang lain. Ia menjadi inspirasi, membawa harmoni, dan memperluas kebaikan. Inilah esensi dari agama yang memberdayakan: keyakinan subjektif yang membawa manfaat nyata, baik bagi diri sendiri maupun bagi dunia.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline