Ini bukan tentang nabi dan kitab suci. Judul di atas hanya untuk membuat perumpamaan bagaimana kita memilih pemimpin untuk negeri ini, setidaknya dari perspektif saya.
Seseorang bisa memilih siapa yang akan dijadikan pemimpin dalam jalan agama yang dipilihnya, yaitu dari ide, konsep, cara dan metode yang dibagikan dalam sebuah 'buku besar' yang disebut kitab suci.
Dari kitab suci itulah seseorang bisa melihat pola pikir seorang yang disebut Nabi dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah kehidupan pada jamannya. Apabila pola pikir itu cocok dan dianggap dapat memenuhi tuntutan jaman, maka seseorang akan memilihnya untuk menjadi pegangan hidup.
Bagaimana pada saat si Nabi hidup? Bukankah tidak ada kitab suci? Betul, justru kalau si Nabi masih hidup, seseorang akan dapat lebih jelas melihat kenyataan pola pikirnya, visinya dan responnya terhadap masalah masyarakat yang ada.
Nabi sebagai pemimpin umat tentu tidak dipilih hanya karena keyakinan semata. Ia dipilih karena Visi misinya yang hebat dalam hidup. Dan visi misi itu diketahui dari seberapa sering ia menuangkannya dalam orasi-orasi spiritual yang nantinya dikumpulkan dan dijadikan kitab oleh para pengikutnya.
Bagaimana bila ada nabi yang menawarkan kepada anda sebagai pemimpin hanya bermodalkan pengakuan bahwa dia pantas jadi nabi? Anda tidak pernah tau visi misi hidupnya, pola pikirnya dan bagaimana respon terhadap masalah dalam masyarakat?
Dalam masyarakat, tentu akan tetap ada yang memilihnya hanya karena fanatik buta terhadap keyakinan bahwa kalau dia memimpin maka masyakarat akan sejahtera (mesiasisme). Entah dia pernah berorasi tentang visi misi atau tidak, tidak tau pola pikirnya bagaimana, tidak tau bagaimana responnya terhadap masalah-masalah real, yang penting pokoknya dia! Karena yakin kalau dia kita akan maju!
Nabi tanpa kitab suci, adalah pemimpin tanpa buku!
Buku di sini bukan buku fisik saja. Namun rekam jejak pola pikir, visi misi dan respon real terhadap masalah yang ada. Dari sana kita akan tahu kualitas seseorang apabila dia dipilih menjadi pemimpin.
Namun sayang, literasi yang rendah (tidak suka baca, tidak suka nonton video edukasi) ini yang kemudian dipakai oleh para calon pemimpin untuk memilih tidak menulis buku. Untuk apa menulis kalau mereka akan memilih sesuai emosi dan intuisi daripada logika, fakta dan rekam jejak?
Menurut data BPS tahun 2020, penduduk yang menyelesaikan pendidikan menengah ke atas adalah 49.5%, ini berarti ada 50.5% yang hanya pendidikan dasar dan tidak sekolah.
Kalau 50.5% diolah emosinya sehingga mudah untuk memilih tanpa logika, fakta dan rekam jejak, maka pemimpin yang akan menang bukan pemimpin yang mempunyai kualitas, namun dia yang dapat menggiring opini masa (50.5%) lewat jalur-jalur media sosial yang disukai oleh mereka yang berada pada 50.5% ini.