Lihat ke Halaman Asli

Agung Webe

TERVERIFIKASI

wellness coach di Highland Wellness Resort

Saya Tidak Percaya Dukun dan Santet

Diperbarui: 30 Agustus 2022   12:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi-pribadi

Akhir-akhir ini terjadi fenomena menarik (walaupun saya agak telat menuliskan ini), yaitu perseteruan konten youtube antara Pesulap Merah dan Gus Samsudin. Perseteruan ini tentang konten logis dan non logis, teknik sulap dan teknik pengobatan dukun.

Saya tidak akan membahas perseteruan tersebut karena hal itu jelas bagi saya hanya tentang perang konten saja. Yang menarik adalah biasnya masalah dan melebarnya masalah ke mana-mana, termasuk tentang istilah bahasa yang digunakan. Misalnya adalah munculnya asosiasi dukun yang menuntut Pesulap Merah karena tidak percaya dengan dukun dan adanya Santet.

Saya tertarik mencermati kalimat ini: "Saya tidak percaya dukun dan adanya santet."

Pertama, apakah kita berhak menuntut seseorang untuk percaya terhadap sesuatu? Kalimat 'saya tidak percaya dukun dan santet' adalah hak pribadi, karena ini merupakan keyakinan. Kita masing-masing tentu mempunyai cara pandang. Apabila orang lain menggunakan cara pandang lain untuk meyakini atau tidak meyakini dukun dan santet, maka hal tersebut merupakan kebebasan dirinya dalam berkeyakinan.

Kedua, apakah apabila ada orang yang yakin dengan dukun dan adanya santet lantas harus menjelaskan kepada yang tidak percaya tentang bukti-bukti yang ada agar orang lain percaya dan mempunyai keyakinan yang sama?

Saya mencoba melakukan eksperimen di tiktok dengan membuat video pendek bahwa santet tidak ada dan cara kerja santet adalah cara kerja meracuni orang lain tanpa batuan jin atau makhluk ghoib lain. Saya mencoba mengemukakan cara pandang saya dan apa yang terjadi? Dari 225 komentar, hampir semua menyalahkan saya (lebih ke hujatan) bahwa saya tidak percaya adanya santet dan makhluk ghoib. Bahkan ada yang mengajak saya untuk membuktikan hal tersebut agar saya percaya.

Eksperimen itu menjadi menarik bagi saya, karena sedikit banyak memperlihatkan kepada saya tentang banyak orang yang belum paham mengenai perbedaan cara pandang dalam hidup ini. Banyaknya orang yang berkomentar untuk mengajak saya membuktikan adanya santet adalah bukti bahwa banyak orang tidak suka orang lain berbeda cara pandang. Mereka lebih memilih bertindak untuk memaksakan cara pandangnya daripada memilih untuk duduk bersama dan berbagi cara pandang masing-masing.

Sisi yang lain, dalam eksperimen video tersebut saya juga menemukan bahwa orang gampang marah ketika apa yang diyakininya disangkal oleh orang lain, dalam hal ini keyakinan tentang adanya santet. Mereka yang yakin bahwa santet itu ada dan nyata akan melakukan tindakan yang gigih memperlihatkan bukti-bukti dengan tujuan orang yang tidak yakin akan berubah menjadi yakin seperti dirinya.

Kalau ada orang yang tidak pecaya dengan dukun dan santet, masalahnya di mana? Toh itu adalah keyakinannya sendiri. Apakah orang-orang yang tidak percaya harus dibuat percaya? Siapa yang mengharuskan dan siapa yang berhak memaksa orang lain tentang keyakinan?

Walaupun eksperimen video saya tidak dapat dikatakan mewakili masyarakat Indonesia, namun setidaknya saya dapat melihat reaksi yang dapat saya maknai dari sisi budaya hidup bersama. Bagaimana kita akan maju apabila tidak dapat menerima perbedaan yang ada, terutama perbedaan keyakinan. Yang tidak percaya dengan dukun dan santet ya biarkan saja. Yang percaya dengan dukun dan santet ya biarkan juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline