Bulan Februari lalu ada yang menarik dari negeri Jepang. Perdana Menteri negara itu menunjuk salah seorang politisi untuk menjadi Menteri Kesepian. Menurut pemimpin negara maju itu, banyak orang yang terdampak Covid-19 dan proses isolasi membuat mereka merasa terpisah dengan yang lain; singkat kata merasa sendiri dan sepi sampai akhirnya mengalami depresi. Akibatnya sungguh di luar dugaan, bahwa banyak orang melakukan bunuh diri karena keadaan itu.
Negara Jepang mengambil sikap seperti itu karena angka bunuh diri di Jepang cenderung meningkat setiap tahunnya. Pandemi karena Covid-19 memperparahnya. Kabar sedihnya adalah, sebagian besar orang yang bunuh diri itu adalah wanita. Sehingga tak salah jika PM Jepang mengambil keputusan seperti itu.
Penulis yakin kesepian yang berakhir tragis bukan hanya milik Jepang, dan itu juga terjadi jauh sebelum pandemic terjadi dan terjadi di banyak negara termasuk Indonesia.
Agak berbeda dengan Jepang, kesepian juga banyak terjadi di Indonesia dan menjadi pemicu tindakan negative yaitu radikalisme. Kesimpulan yang berdasar pelaku radikalisme dan terorisme ini dinyatakan oleh pengamat terorisme dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones. Kesimpulannya ini diutarakannya pada tahun 2018.
Sidney mengatakan bahwa kesendirian dan kesepian adalah salah satu factor mengapa anak muda terjaring kelompok radikal yang militant. Kelompok muda yang sedang mencari jati diri dan dengan situasi psikologi yang belum stabil merasa perlu untuk mencari 'sandaran diri' yang mereka percaya dan itu biasanya bukan dari keluarga batih. Dari kesepian itu mereka bermain media sosial dan bertemu serta berinteraksi di dunia maya dengan kelompok yang salah yaitu kelompok fanatic yang mengarah pada radikal.
Setelah berinteraksi biasanya mereka mengikuti semua kegiatan yang dilakukan kelompok itu seperti diskusi eksklusif yang sangat tertutup. Kegiatan ini biasanya mengajian dan beberapa hal lain yang mengarah pada pengajaran soal agama yang mengarah pada faham radikalis. Dari kegiatan itu mereka mulai disadarkan dan diyakinkan untuk melakukan hal-hal yang menurut kelompok itu benar dan mulia sepeti menganggap pemerintah adalah thougut (sesat), menjauhi bank karena riba sampai perilaku jihad yang ekstrem yaitu meledakkan diri.
Tanda-tanda perilaku inilah yang terjadi pada dua pelaku bom bunuh diri di gereja Katedral di Makassar dan penyerang di Mabes Polri. Mereka rerata menjaga jarak dengan lingkungannya dan hanya berhubungan dengan beberapa orang atau kelompok eksklusif. Pelaku penyerangan di Mabes Polri yang merupakan wanita malah belum diketahui kelompok peernnya sehingga diperkirakan dia belajar banyak faham radikal dari internet. Namun dia juga diketahui sebagai pribadi tertutup.
Orang-orang seperti ini diperkirakan merasa sendiri,dan kesepian. Jadi, jangan menjadi anak muda yang kesepian. Bagi keluarga terdekat, jangan remehkan anak-anak anda yang teralienasi dari lingkungan sekitar dan hanya berhubungan dengan kelompok eksklusif saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H