Dalam kehidupan sehari-hari, pasang surut hubungan sosial antartetangga kerap terjadi. Berikut ini adalah ulasan cara menjaga kehidupan bertetangga menurut pengalaman penulis, melihat teladan dari orang tua sendiri.
Cara ini pada dasarnya dapat pula diterapkan di dunia maya selama interaksi yang berlangsung melibatkan manusia (bukan dengan bot atau sistem komputer).
Ketika internet belum ada, orang hidup berdampingan yang paling intens itu berada dalam lingkungan RT, Rukun Tetangga. Radius sosial yang dianggap dekat kira-kira 40 rumah. Bisa juga terjadi, warga yang berdekatan ternyata beda RT atau RW tetapi tetap disebut tetangga.
Tentang pernak-pernik kehidupan bertetangga ini penulis rasakan perlu untuk merenungkan pengalaman orang tua dulu ketika masih tinggal bersama. Ada kalanya menyenangkan, saling memerlukan; ada kalanya mendapat perlakuan yang kurang atau tidak menyenangkan.
Soal ghibah atau bisik-bisik tetangga --yang kemudian bocor-- tampaknya sudah lumrah. Ada di mana-mana, seperti cerita pendek Bu Tedjo yang viral itu. Tetapi kadang-kadang hal yang mengganggu itu sifatnya sudah menyangkut properti atau melanggar teritori yang tak jarang memicu konflik.
Bapak dulu adalah seorang pegawai negeri. Lebih banyak berurusan dengan kertas dan alat-alat tulis di kantor daripada perkakas pertanian atau pertukangan. Namun bukan berarti benda-benda itu tidak kami punya bahkan cukup lengkap.
Di belakang rumah ada kebun dan kolam. Bapak menyimpan beberapa perkakas di kandang ayam di belakang rumah itu. Karena bukan tukang atau petani tulen, perkakas dan alat pertanian hanya digunakan sesekali. Misal untuk membersihkan kebun, memperbaiki pagar, atau menata kolam.
Satu ketika entah apa legitimasinya, cangkul yang ada di kandang tiba-tiba diklaim tetangga sebelah. Ini jelas lokasinya di properti pribadi, bukan zona sengketa seperti di laut Natuna. Memang ada basa-basi yang terlontar, katanya: daripada nganggur mending dipakai buat kerja! Begitu bahasa tetangga kita yang bekerja sebagai petani itu.
Oleh karena paman petani ini lebih senior, sang pemilik cangkul pura-pura santuy meski perasaan dongkol agaknya tak terhindarkan. Cangkul yang dimaksud itu toh diperlukan sewaktu-waktu dan tak bisa diganti dengan parang. Kami sebagai anak-anak mendengarkan saja gerutuan Bapak dan tak begitu peduli urusan orang tua.
Harga cangkul seberapakah hingga harus dipersoalkan panjang lebar. Akan tetapi masalahnya bukan hanya cangkul saja. Kerap alat-alat pertukangan yang lain dipinjam dan kemudian raib untuk selama-lamanya. Dari si A kemudian dipinjam B, dari B dipinjam C, dan seterusnya sampai Z.