Mardani Ali Sera memberikan penilaian terhadap kepemimpinan Jokowi terkait mundurnya 2 stafsus milenial baru-baru ini. Menurut politisi PKS tersebut mundurnya stafsus menunjukkan ketidakmampuan Jokowi membina mereka. Ia juga meminta dicek lebih lanjut apakah ada tekanan terhadap mereka berdua.
Melihat urutan-urutan peristiwanya, dapat kita simpulkan bahwa penyebab utama mundurnya staf khusus Belva Devara dan Andi Taufan adalah akibat adanya tekanan politik.
Baik dari pihak pro-Jokowi sendiri, terlebih lagi dari oposisi, sama-sama mengangkat isu konflik kepentingan stafsus yang sesungguhnya masih abu-abu. Kuatnya pemberitaan media dan komentar di media sosial membuat stafsus yang belum punya bekal politik tersebut merasa kegerahan. Mundur adalah pilihan yang rasional.
Artikel sebelumnya: Memahami Bersatunya Kubu Oposisi dengan Pro-Jokowi
Bagi Jokowi sendiri, meski mungkin menyayangkan, pengunduran dua staf muda tersebut tidak begitu merugikan secara politik. Dan tentu bukan fokusnya pula untuk secara khusus memberi pelatihan cara-cara bertahan dari serangan politik ketika duduk di kursi panas.
Mardani Ali Sera (kompas.com, 24/04/2020):
"Sudah dua yang mundur. Bisa jadi ada lagi. Yang salah bukan prajurit, tapi jenderalnya. Pak Presiden perlu bertanggung jawab pada pembinaan stafsusnya."
Keputusan Jokowi mengambil wakil milenial di pemerintahannya adalah buah dari pertimbangan kompromistis pada awalnya. Kita masih ingat ketika kabinet sedang digodok susunannya, banyak usulan agar ada milenial yang menduduki jabatan menteri. Jokowi sendiri sempat menjamin hal itu (tempo.co, 17/10/2020).
Tetapi yang terjadi kemudian berubah sama sekali seiring dinamika politik pascapilpres yang berlangsung zigzag. Gara-gara Gerindra bergabung dengan koalisi petahana maka secara otomatis susunan rancangan kabinet juga harus dikocok ulang.
Jokowi perlu memberi posisi bagi pendukungnya baik dari partai maupun relawan; tetapi Gerindra juga perlu diberi obat penenang. Walhasil jatah 2 menteri diraih mantan lawan politiknya tersebut, kursi menhan dan menteri kelautan.
Jatah milenial terpaksa harus dipangkas, hanya tersisa 3 sebagai wakil generasi (anggap saja) muda. Menteri BUMN untuk Erick Thohir; Menteri Pariwisata buat Wishnutama; dan Nadiem Makarim yang mengurus pendidikan.
Akan halnya janji Jokowi untuk memberi posisi bagi milenial di bawah 30 tahun terpaksa dialihkan, staf khususlah yang kemudian jadi pilihan.
Blessing in disguise, keputusan Jokowi tersebut ternyata memberi keuntungan tak terduga. Jika dilihat dari kematangan politik dan komunikasi publik maka dapat dikatakan stafsus milenial pilihan Jokowi memang belum saatnya menjabat jadi menteri.