Kasus misuse kop surat yang dilakukan staf khusus milenial kepresidenan mendadak viral. Awal sekali penulis ketahui soal tersebut dari twitter salah satu tokoh senior nasional yang getol mengkritik Jokowi. Biasa saja sebenarnya, memang behavior beliau sudah demikian adanya.
Tetapi sesuatu yang janggal terjadi kemudian; peristiwa tak lazim yang lebih langka dari penampakkan komet Halley.
Beberapa dedengkot pro Jokowi garis batu seperti Denny Siregar dan penulis Seword pun ternyata mengangkat masalah ini juga. Suaranya sama, menuntut stafsus Andi Taufan Garuda yang bertanggung jawab atas kelalaian tersebut untuk mundur dari jabatan stafsus.
Tak berapa lama berselang, stafsus Adamas Belva Devara ternyata menyusul nongol di media. Ia menyatakan siap mundur meletakkan jabatan setelah start up Ruangguru yang ia dirikan bersama Iman Usman dikuliti massa terkait program kartu Prakerja.
Konfigurasi kepentingan di sekitar istana
Sebelum menginjak tema layak tidaknya stafsus mundur atau dimundurkan/ dipecat, baiknya kita kaji secara seksama bagaimana posisi stafsus milenial dalam pergulatan kepentingan di sekitar ring 01. Hal ini perlu sebagai referensi untuk memahami mengapa persekutuan 'ilegal' antara pro-Jokowi dan anti-Jokowi bisa terjadi.
Seperti kita tahu, sejak Jokowi menang pilpres, di pusaran istana terjadi persaingan sengit beragam kepentingan yang ingin mendapatkan posisi. Selain kursi menteri dan setingkat menteri yang sebagian merupakan jatah partai koalisi (plus Gerindra), Jokowi juga menambah nomenklatur jabatan wamen, wakil menteri. Salah satu relawan kemudian mendapat pos wamen lewat lika liku plot yang tidak kalah serunya dari drakor, drama Korea.
Tentu tidak semua kepentingan dapat terpenuhi karena gerbong istana terbatas. Bahkan mungkin sebagian besar relawan lain justru hanya bisa nyengir kuda; Tuhan menganugerahi mereka kesempatan mengikuti ujian keikhlasan tingkat mahir.
Bukan berarti bahwa tuntutan mundur pro-Jokowi kepada stafsus itu adalah semata buah dari kecemburuan sosial, tidak selalu begitu. Bagi tokoh pro-Jokowi tertentu mungkin juga melihat bahwa stafsus milenial itu kurang menggigit perannya. Sudah 100 hari lebih belum unjuk kebolehan, belum sepadan dengan gaji bulanan dan fasilitas yang mereka dapatkan.
Lantas, apakah parameter yang menjadi tolok ukur layak tidaknya stafsus mundur atau dimundurkan?
Sebelum menjawabnya, harus kita sepakati dahulu bahwa kasus yang menimpa Andi Taufan dan Adamas Belva itu adalah sesuatu yang berbeda. Tidak bisa disamaratakan.