Tidak berapa lama setelah Joko Widodo terpilih menjadi Gubernur Jakarta, gebrakan kerja-kerja nyata yang dilakukannya langsung terasa. Pada waktu itu kebetulan penulis masih bekerja di sana.
Jalan provinsi yang biasa penulis lewati di kawasan Jakarta Barat yang selalu kotor karena jarang disapu tiba-tiba menjadi bersih rapi dan enak dilihat. Tiap hari petugas kebersihan membersihkan jalan itu dari sampah-sampah yang dibuang sembarangan.
Dari segi keamanan, preman-preman yang biasa hidup nyaman langsung disikat satu per satu. Tukang-tukang parkir ditertibkan dan titik-titik simpul kemacetan coba diurai. Salah satunya adalah kawasan pasar Tanah Abang yang jadi proyek percontohan (kompas.com, 3/6/2013). Dahulu begitu, entah bagaimana sekarang.
Kerja cepat Jokowi yang berpasangan dengan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) itu langsung jadi buah bibir. Wartawan jadi pada kepo, apa sebenarnya dan bagaimana Jokowi bekerja sehari-hari. Kemana Jokowi pergi, kuli tinta membuntuti.
Setelah itu sepertinya tiada hari di ibukota tanpa berita tentang kader usungan PDIP dan Gerindra itu.
Program-program Jokowi-Ahok sebenarnya biasa saja. Membersihkan selokan, mengeruk danau, mengurai kemacetan jalan, bersilaturahmi dengan warga; tidak ada yang terlalu istimewa.
Keistimewaannya (jika dianggap demikian) barangkali karena program-program Pemprov DKI kala itu dikerjakan Jokowi dengan militan.
Anak buahnya pun tak luput dari incaran tajam matanya yang menelanjangi kinerja mereka. Alhasil, pejabat dan pegawai yang lamban dan nir-kualitas langsung digulung masuk kotak. Program lelang jabatan pun memberi kesempatan terbuka bagi mereka yang punya keunggulan kualitas kerja dan kompetensi.
Jakarta sepeninggal Jokowi
Setelah Jokowi terpilih menjadi presiden periode 2014-2019, Wagub Ahok pindah kursi. Tadinya DKI-02 sekarang duduk di kursi utama.
Kerja Ahok mungkin oke, tetapi jika diibaratkan permainan catur, pertahanan dan manuver politiknya terlalu terbuka.