Apapun makanannya minumnya pasti air. Masak minum rokok.
Begitulah logika yang sudah tertanam dalam benak, bekerja otomatis tanpa harus berpikir lagi. Hal-hal sederhana seperti itu sudah dipahami dan menjadi keahlian para marketer, praktisi pemasaran yang siang malam bergelut target penjualan.
Saking eratnya pergelutan mereka dengan urusan jual beli, pelaku pemasaran hapal betul cara berpikir, berperilaku, emosi, serta cara berkhayal para konsumennya.
Misalnya konsumen umat Islam. Seorang muslim paling fasik sekalipun khayalannya pasti ingin masuk surga tanpa hisab.
Tetapi mimpi saja pasti tidak cukup. Impian harus dibarengi ikhtiar nyata, kerja keras dan berpikir waras. Syarat-syarat tambahan itulah yang saat ini banyak diabaikan oleh umat Islam, baik individu maupun kolektif.
Hari-hari ini kita --entah sudah berapa kali-- mendengar berita konsumen (umat Islam) tertipu oleh bisnis berkedok tampilan syariah; baik dari segi pilihan kata, desain display, maupun gaya para pelakunya.
Asal sering-sering menyebut istilah Arab, memakai gamis atau berkerudung, berjenggot, pasti asumsinya otomatis syariah.
Sejumlah agen umroh penipu sudah masuk roses pengadilan; ada First Travel, Hannien, Abu Tours, Amanah Ummat, dan lain sebagainya.
Omsetnya yang menjadi kerugian jamaah bernilai fantastik. Perputaran uang yang dikelola biro Abu Tours mencapai Rp 1,8 triliun.
Tidak hanya urusan perjalanan suci, bisnis-bisnis lain terkontaminasi juga penipuan berbasis iming-iming syariah.
Di Sidoarjo 06 Januari kemarin, polisi membongkar kedok P.T. Cahaya Mentari Pratama yang menjual perumahan fiktif bernama Multazam Islamic Residence.