Mendengar kata tom yam goong bagi para penggemar sup Thailand, tom yam, mungkin sudah mampu membangkitkan selera. Tetapi bagi yang paham istilah itu atau bahkan mengalami sendiri akibat kejadiannya, bukan air liur yang terbit tetapi mungkin malah tetes air mata.
Makna dari frasa yang memang berasal dari bahasa Thailand itu adalah krisis moneter atau disingkat krismon di Indonesia. Krisis keuangan yang bermula di negeri gajah putih itu juga menerpa negara-negara Asia lainnya antara tahun 1997-1998 dan berpengaruh negatif terhadap perekonomian dunia.
Di Indonesia gejolak krismon yang mengguncang stabilitas sistem keuangan mulai terasa sejak Agustus 1997. Situasi sosial politik saat itu membuat kondisi ekonomi semakin buruk hingga akhirnya tahun 1998 tingkat inflasi mencapai 77,63% . Sebagai pembanding inflasi tahun 2018 yaitu 3,13%.
Rupiah terdevaluasi; nilai 1 US $ yang sebelumnya setara Rp 2.000-an melesat naik jadi Rp 16.000. Harga-harga yang melambung tinggi disertai kelangkaan sembako membuat masyarakat dan pemerintah sama-sama panik.
Implikasi dari krisis keuangan itu sangat luas dan sistemik.
Tatanan sosial, politik, hukum, dan pemerintahan ikut terimbas akibat efek domino. Puncak chaos kemudian terjadi pertengahan Mei 1998 di Jakarta dan beberapa kota lainnya. Puncak dari gejolak yang terjadi adalah mundurnya Presiden Soeharto dari jabatan yang diembannya.
Krisis finansial, pelajaran yang terlalu mahal
Pemerintah pascakrisis 1998 sudah melakukan langkah antisipasi agar krisis moneter tidak terulang.
Pembentukan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) adalah salah satu bentuk tanggung jawab pemerintah dalam mengawasi stabilitas sistem keuangan agar tetap aman. KSSK beranggotakan empat elemen lembaga pemerintah di bidang keuangan Kemenkeu, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Setelah krisis moneter, selain kisah kelam kerusuhan Mei 1998 dan lengsernya Soeharto; kurs dollar kemudian mendapat perhatian lebih di masyarakat.
Ketika nilai dollar menguat semua mata tertuju pada pemerintah terutama Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia, seolah-olah sedang menghakimi pelaku yang bertanggung jawab. Padahal perubahan nilai kurs mata uang itu berkaitan dengan banyak hal, tidak hanya dengan kebijakan pemerintah saja.