Sebagai manusia ekonomi, urusan mempunyai utang piutang bagi saya adalah hal biasa.
Sekian kali berurusan dengan masalah ini mengantar saya pada pemahaman lebih baik soal watak uang yang sebenarnya. Kata orang uang itu tidak kenal saudara dan agama.
Awalnya saya pikir pendapat itu terlalu lebay, hiperbola. Tetapi setelah mengalami sendiri kejadian-kejadian yang berkaitan, berangsur-angsur akhirnya paham, pandangan itu ada benarnya juga.
Kerjasama usaha pertama yang saya lakukan dengan orang yang saya kenal baik gagal. Partner usaha dilihat dari segi kesalehan, laku ritual ibadahnya biasa saja, cenderung kurang. Ketika usaha jatuh karena salah urus, saya pikir wajar, mungkin ada faktor attitude yang menjadi sebab bisnis tidak berkembang. Walaupun kehilangan cukup lumayan, uang yang saya sertakan sebagai modal hangus begitu saja.
Setelah ada uang lagi, berikutnya saya coba kerjasama usaha lain.
Kali ini dengan orang yang dari segi agamanya baik, taat beribadah. Transaksi keuangan pun dicatat, karena saran dari Nabi memang begitu. Tapi apa daya, usaha ini juga gatot karena uang digunakan untuk hal di luar kesepakatan. Dan catatan pada akhirnya hanya tinggal catatan yang tak bermakna.
Uang memang tidak hilang, tetapi dikembalikan dalam waktu lama, bertahun-tahun dicicil sedikit demi sedikit. Tidak sepadan dengan apa yang saya lakukan di awal, uang untuk modal usaha saya berikan penuh dalam bentuk cash.
Pengalaman itu dan pengalaman orang lain yang saya tahu, memberikan pelajaran berharga tentang gambaran efek uang terhadap watak manusia.
Dua kali pernah kejadian PMP, prend makan prend (baca: friend makan friend), di kantor yang berbeda. Kawan saya tertipu puluhan juta oleh kawan saya yang lain gara-gara urusan kerjasama bisnis. Pelaku yang bertanggung jawab atas hilangnya uang setoran modal kemudian pergi entah ke mana.
Bagaimana orang menyikapi uang, termasuk di dalamnya masalah utang piutang atau untung rugi, ternyata relatif tidak berkaitan dengan jauh dekatnya kekerabatan atau pertemanan.
Sikap orang terhadap uang juga cenderung tidak berhubungan dengan kesalehan seseorang dalam beribadah yang tampak secara lahiriah.