Senangnya hati kala jualan laris, apalagi sampai konsumen jadi pelanggan tetap.
Meskipun harga beras yang kami pasarkan jauh di atas rata-rata, nyaris lipat dua harga pasaran, namun pembeli tetap mencari. Volume penjualan pun lalu meningkat dengan menyalurkan produk sejenis dari petani.
Komoditi yang kami pasarkan memang bukan produk sembarangan; beras organik varietas lokal dari sawah yang diolah secara ramah lingkungan.
Kegiatan wirausaha kami di bidang pertanian organik sebenarnya berawal dari diskusi kampus yang membahas isu konservasi lingkungan. Rasanya ada yang keliru mengamati laju deforestasi yang luar biasa ketika itu, apalagi pada masa-masa awal reformasi di mana penjarahan lahan hutan tidak terkendali.
Tercatat kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-2000 luasnya mencapai 2,83 juta hektar.
Selain kerusakan hutan, kualitas lingkungan juga menurun akibat penggunaan bahan kimia sintetik yang tidak terkontrol dalam kegiatan pertanian konvensional. Dampak yang terjadi, kualitas tanah menurun dan kehidupan satwa liar di habitat asli semakin berkurang, baik dari segi jumlah maupun keragaman.
Sebagai bentuk wacana tandingan atas isu kerusakan lingkungan itulah ide bertani secara organik meluncur. Pilihan yang terasa berbeda sendiri diantara puluhan aktivitas mainstream yang ada di kampus. Tak heran anggota yang berminat pun bisa dihitung dengan jari.
Jadi petani bagi sebagian besar mahasiswa mungkin seperti memutar balik roda nasib; alih-alih naik derajat jadi pegawai negeri seperti harapan orang tua di desa.
Sawah organik di lahan kampus
Kendala pertama yang menghadang saat mewujudkan ide organic farming adalah soal lahan.