Politik luar negeri butuh senjata, politik dalam negeri butuh massa.
Semakin dekat waktu Pemilu, iklim politik di Indonesia kian memanas dengan semakin kencangnya penggiringan opini bahwa: telah dan akan terjadi kecurangan.
Terbaru, isu polisi jadi buzzer yang membuat orang waras geleng-geleng kepala. Kalau 100 polisi tiap Polres jadi buzzer lalu siapa yang akan mengatur lalu lintas?
Amien Rais secara terbuka mengatakan akan menggerakkan massa untuk menggeruduk KPU seandainya terjadi kecurangan oleh pemenang, maksudnya kubu Jokowi-Ma'ruf.
Melihat afiliasi massa yang berkaitan dengan Amien Rais maka yang paling mungkin adalah massa 212.
Hampir tidak mungkin Amien menggunakan massa Muhammadiyah, atau PAN. Saat ini PAN sendiri diketahui sedang berada dalam ke-gurem-an yang massif dan sulit untuk bangkit. Seberapa banyak massa PAN yang masih militan?
Semakin jelas jawaban pertanyaan mengapa kelompok 212 yang terbentuk dua tahun lalu terus dipertahankankan eksistensinya. Mereka sedang mewujudkan bentuk asli sebagai alat politik.
Massa 212 memiliki karakteristik unik yang berbeda dengan massa partai. Bukan partai politik dan bukan juga ormas, walaupun sebutan yang terakhir itu yang paling mungkin.
Massa partai hanya bisa digunakan untuk partai yang bersangkutan. Massa 212 dapat digunakan oleh lintas partai, asal kepentingannya searah dan setujuan.
Bertabir isu penistaan agama dan kriminalisasi ulama, massa 212 yang terbentuk dua tahun silam untuk menekan peradilan kasus Ahok; bertahan menyambung hidup dengan rutin mengadakan reuni.
Baru sekarang ada fenomena massa demo bikin reuni tahunan.