Cawapres effect sudah terasa menyengat.
Sandiaga Uno sumringah, kaget sendiri merespon elektabilitasnya bersama Prabowo di angka 29,5 % dalam survei LSI. Sementara itu dalam internal koalisi Jokowi mulai tercium gejolak walaupun unggul keterpilihan, 52,2 %; survei membaca ada penurunan.
Ma'ruf Amin sebagai cawapres dianggap sebagai pilihan yang kemudian jadi beban penyebab berkurangnya pemilih Jokowi.
Ancaman ditinggal pemilih milennial menjadi PR bagi Raja Juli bersama PSI untuk meyakinkan agar mereka urung mencoblos Sandiaga yang muda dan kekinian.
Kabar dari Golkar, merebak kekecewaan karena Airlangga tidak dipinang Jokowi dan berpotensi tidak bulatnya dukungan Beringin di tubuh koalisi. Apakah itu taktik, drama, atau realitas, kita simak nanti perkembangannya.
Bagi Jokower sekaligus Ahoker garis cadas, Ma'ruf Amin juga menjadi sebab suasana di sekitar Jokowi jadi gak OK lagi. Fatwa Ma'ruf sebagai petinggi MUI masih lekat dalam ingatan sebagai awal terseretnya Ahok ke meja hijau. Ahok yang tersakiti di Mako Brimob belum eksplisit menyatakan dukungan #Jokowi2periode.
Masalah terbesar justru di warga Nahdliyin, NU, yang menjadi salah satu alasan Jokowi memilih Ma'ruf.
Penempatan Rais Aam PBNU (ketua umum) itu ternyata tidak serta merta berarti 100% suara NU untuk petahana. AD/ART mengatur bahwa khittah menjamin hak anggota bebas menentukan pilihan politik.
Warga NU tidak hanya di lingkaran PPP atau di PKB saja, tetapi ada juga di Demokrat, Gerindra, dan yang lainnya. Berbahaya bagi NU jika tampak terlalu condong merangkul ke satu pihak dan meninggalkan yang lain. Bukankah dulunya PPP dan Mahfud MD juga adalah jamaah Prabowo?
Muncul juga desakan agar Ma'ruf Amin mundur dari kursi PBNU mengingat larangan berkubang dalam politik praktis bagi jajaran pengurus elite.
Jokowi, tetap fokus