Komoditas isu penderitaan warga naik harganya pada tahun-tahun politik.
Dari aktivis Ratna Sarumpaet yang merecoki kerja basarnas yang sedang bekerja, hingga Zulkifli Hasan yang mempersoalkan status bencana, seolah-olah korban diterlantarkan. Mengapa tidak turun tangan langsung saja memberi bantuan, melalui dana pribadi dan kegiatan donasi bencana seperti Elek Yo Band.
Juga belum lama, Zulkifli Hasan mengangkat isu kemiskinan dan menurunnya rasio gini dalam pidatonya sebagai ketua MPR. Indeks gini menurun karena semakin banyak orang kaya yang pendapatannya menurun, bukan pendapatan orang miskin yang meningkat, Zulkifli berteori.
Menjelang Iedul Adha sepertinya jalan pikiran teori Ketum PAN itu harus diperiksa kembali.
Iedul Adha disebut juga Iedul Kurban, karena umat Islam yang mampu disyariatkan untuk menyumbangkan sebagian hartanya dalam bentuk hewan ternak yang akan dikurbankan, bisa sapi, unta, kambing, dan sejenisnya.
Orang yang berkurban, seperti juga dalam melaksanakan ibadah haji, haruslah muslim yang berkelebihan.
Kalau miskin ya miskin saja, tidak boleh berpura-pura --utang sana utang sini-- untuk memaksakan diri agar bisa berkurban. Demikian juga orang kaya yang enggan berkurban dengan berpura-pura miskin, tercela dalam pandangan agama.
Beberapa hari lalu di tempat penjualan ternak kurban, penulis mengamati ternyata sapi-sapi di sana rata-rata sudah ada labelnya, artinya sold out. Hanya tertinggal beberapa yang masih menunggu pembeli, masih ada beberapa hari hingga hari raya Iedul Adha 1439 Hijriyah.
Abang penjual juga kelihatan riang, menjelaskan beragam jenis sapi, ciri-cirinya, harganya, hingga racikan pakan yang diberikan. Tidak terlihat raut sedih dari karyawan perusahaan yang katanya memiliki tempat penggemukkan ternak di Boyolali dan di Sentul, Bogor.
Sapi yang dijual di lahan kosong tepi jalan kawasan Pamulang ini berasal dari trah limousine, simmental, dan sapi lokal, sapi madura.
Hewan yang berbahagia itu menunggu hari-hari dengan makan dan minum di antara tidur dan santai leyeh-leyeh.