Lihat ke Halaman Asli

Telisik Data

TERVERIFIKASI

write like nobody will rate you

Nanoteknologi untuk Mengatasi Krisis BBM

Diperbarui: 24 Juli 2018   19:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Offshore drilling atau pengeboran minyak lepas pantai (offshore-technology.com).


Produksi minyak dan gas bumi (migas) pada saat ini menghadapi tekanan kuat dari dua sisi. Pertama, kebutuhan yang terus meningkat seiring bertambahnya populasi penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang memacu kegiatan industrialisasi. Kedua, cadangan migas yang terus menyusut, sementara usaha menemukan cadangan baru semakin sulit.

Menurut Presiden IPA (Indonesian Petroleum Association) Lukman Mahfoedz dalam acara konvensi IPA ke-38, Indonesia memerlukan peningkatan tiga kali lipat dari aktivitas eksplorasi saat ini untuk menutup 50 % kekurangan persediaan migas di tahun 2025. Pada saat itu diperkirakan kesenjangan antara permintaan dan persediaan migas mencapai angka 2,2  juta boe per hari.

Jika pasokan migas kurang yang terjadi adalah kelangkaan atau krisis Bahan Bakar Minyak (BBM). Bisa juga BBM ada tetapi harganya sangat mahal. Atau, harganya terjangkau tetapi membebani keuangan negara karena harus disubsidi sehingga kebutuhan mendasar lainnya tidak terpenuhi.

Industri migas tidak dapat lagi bertumpu pada teknologi konvensional untuk mengejar target pemenuhan konsumsi energi. Pada saat ini  perusahaan migas global, dari hulu hingga ke hilir,  sudah mulai beralih pada aplikasi nanoteknologi. Hal itu diperlukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam kegiatan eksplorasi dan produksinya.


Nanoteknologi

Richard Feynman, ilmuwan pelopor nanoteknologi (wikiquote.org).


Nanoteknologi yang dirintis oleh ilmuwan peraih Nobel Fisika tahun 1965, Richard Phillips Feynman, menawarkan solusi terhadap banyak hal yang menjadi kebutuhan manusia termasuk energi. Tidak hanya solusi teknologi di bidang migas, tetapi juga energi alternatif. Kutipan Feynman yang terkenal "There's plenty room at the bottom" seolah isyarat bahwa ada cukup tersedia sumber daya untuk memenuhi kebutuhan seluruh umat manusia.

Industri migas Indonesia juga dapat menerapkan inovasi di bidang nanoteknologi agar dapat bersaing di tingkat global dan mengatasi tantangan alam. Apalagi kecenderungan area eksplorasi saat ini yang didominasi oleh lokasi lepas pantai dan semakin mengarah ke Indonesia bagian timur. Lukman Mahfoedz mengatakan, sebaran cadangan migas 75 % berada di lepas pantai Indonesia bagian timur dengan komposisi 85 % didominasi oleh gas bumi.

Tantangan alam yang dihadapi dalam kegiatan eksplorasi lepas pantai adalah laut itu sendiri. Karakteristik lingkungan laut adalah tingginya kadar garam, tekanan air seiring bertambahnya kedalaman laut,perubahan cuaca: suhu, kelembaban udara, angin dan gelombang, biota laut.

Kondisi tersebut membutuhkan peralatan eksplorasi yang berkualitas ekstra tinggi untuk menjamin keselamatan para awak lapangan. Selain itu lingkungan laut dapat menambah tinggi biaya pemeliharaan akibat meningkatnya kerusakan terutama akibat korosi  dan perkaratan.

Seperti diungkapkan oleh Robert Ferris, seorang perencana strategis dari Emerson Process Experts, produsen-produsen migas utama di dunia saat ini menginvestasikan biaya riset nanoteknologi untuk mendapatkan inovasi baru dalam eksplorasi, proses recovery (pengangkatan minyak dari sumur pengeboran), material baru yang tahan panas dan tekanan tinggi, dan pemeliharaan peralatan yang murah.

Beberapa penerapan nanoteknologi sudah dan terus diteliti untuk menjawab permasalahan di atas, berikut beberapa diantaranya.

Nanosensor

Eksplorasi migas adalah kegiatan mencari tahu ada tidaknya kandungan migas di suatu lokasi. Jika ada, pertanyaan berikutnya adalah berapa banyaknya, setelah itu dikalkulasi secara ekonomi untuk menentukan kelayakkan penambangan dan produksinya. Perhitungan tersebut memerlukan informasi geofisik dan geokimia seperti struktur dan jenis batuan, porositas, sumber air, suhu, dan tekanan reservoir migas di dalam bumi.

Teknologi sensor berskala nano menawarkan kemampuan untuk memberikan informasi dan data beresolusi tinggi. Dibandingkan dengan perangkat geofisika elektronik dan teknik seismik permukaan, nanosensor memiliki kelebihan dalam hal akurasi dengan ukuran yang jauh lebih kecil.

Menurut Jay Kipper, pakar geologi dari University of Texas, prinsip kerja sensor berskala nano sama seperti sensor di bidang kedokteran. Bedanya, di bidang kedokteran objek yang diamati adalah kondisi dalam tubuh manusia, sedangkan dalam eksplorasi migas objeknya adalah isi perut bumi.


Dengan perangkat yang disebut microfabricated sensors berukuran cuma 1 millimeter kubik, di dalamnya terintegrasi beberapa sensor, pemrosesan, memori, jam dan suplai daya. Di masa depan alat ini bahkan diharapkan dapat diperkecil lagi hingga berukuran mikro.

Nanoreporter

Nanoreporter atau resbots (reservoir robot sensors) adalah sensor nanoteknologi kimiawi yang dipompakan ke dalam perut bumi untuk mengetahui kandungan isinya.

Disebut nanoreporter karena ia bisa memberikan laporan perjalanan selama ia ‘bertugas’. Berbeda dengan perunut kimia (tracer) biasa yang hanya memberi informasi dimana ia masuk dan di mana ia keluar, nanoreporter memberi tahu pada peneliti tentang banyak hal.

Teknologi ini dikembangkan di Rice University dan didanai oleh Advanced Energy Consortium. Nanoreporter yang dibuat berukuran kurang dari 100 nm sehingga dapat leluasa memasuki pori-pori batuan dan dapat berpendar (fluorisensi) sehingga dapat dilakukan analisa visual. Karakter kimiawi partikel ajaib ini sangat unik karena akan berubah secara molekuler sesuai dengan jenis substansi yang berinteraksi dengannya misalnya air, minyak bumi, atau hidrogen sulfida. Informasi lainnya yang dapat digali oleh peneliti adalah volume zat yang ditemuinya serta berapa lama si nanoreporter itu berada dalam perut bumi.

Nanoinsulation

Inovasi diterapkan untuk mencegah kehilangan panas selama proses produksi migas berlangsung. Angka kehilangan panas yang bisa mencapai hingga 50% dari penggunaan energi industri.

Contoh teknologinya adalah nansulate. Bentuknya adalah insulasi aerogel yang melapisi peralatan dan komponen produksi untuk mencegah kehilangan panas dan terjadinya korosi. Efektivitasnya sangat tinggi. Nansulate dengan ketebalan sehelai kertas sama baiknya dengan efektivitas fiberglass setebal 3 inchi.

Nanocoating

Salahsatu permasalahan penambangan migas di lepas pantai laut adalah biota laut. Penghuni asli ekologi laut ini menempel (fouling) pada permukaan peralatan yang terendam oleh air laut, termasuk lambung kapal. Akibatnya adalah korosi dan karat sehingga menambah biaya pemeliharaan. Pada kapal, ulah biota laut ini meningkatkan konsumsi bahan bakar hingga 40 %.

Pencegahan secara konvensional dari masalah tersebut di atas adalah dengan pengecatan anti-fouling yang dapat merusak lingkungan. Kelebihan nanocoating berbahan silikon dan karbon ini adalah lebih ramah lingkungan dibanding teknologi pelapisan sebelumnya.

Inovasi-inovasi lain di bidang migas masih banyak. Sebagai  contoh, teknik nanometalurgi untuk menghasilkan materi baru yang lebih ringan dan lebih kuat, nanolubricants yang penting untuk pelumas pencegah korosi dan karat, dan elastomer atau polimer elastis untuk ketahanan terhadap suhu dan tekanan tinggi.

Belum lagi produk sampingan dari migas yang dapat diperoleh dengan nanoteknologi, misalnya silika mesoporous dan diamondoids (struktur karbon mirip berlian) untuk industri optik dan elektronik. Kedua material tersebut memiliki struktur molekul unik dan diperoleh bersamaan dalam deposit migas.

Kerjasama Dalam dan Luar Negeri

Kemampuan kita dalam teknologi nano sudah mendapat pengakuan di dunia internasional. Saat ini kita sudah memiliki sekurang-kurangnya 300 ilmuwan yang siap mengembangkan kemajuan nanoteknologi, mulai dari riset dasar hingga ke tingkat komersialisasi bisnis. Selain memenuhi kebutuhan dalam negeri kita juga sudah mampu mengekspor produk nanoteknologi ke negara  lain.

Secara kelembagaan kita juga memiliki Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai focal point nanoteknologi di tingkat global. Beberapa perguruan tinggi juga memiliki sangat antusias untuk mengembangkan nanoteknologi.  Belum lama ini misalnya, Universitas Indonesia meresmikan pusat riset nanoteknologi yang dapat digunakan untuk memajukan kemampuan kita di berbagai bidang.

Untuk meningkatkan kemampuan produksi dan daya saing di tingkat internasional, industri migas harus dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga di dalam dan luar negeri.

Kerjasama dalam negeri diperlukan untuk membangun sinergi perkembangan nanoteknologi nasional dan mencegah terjadinya keterulangan riset yang menghabiskan biaya. Selain itu kita juga dapat menggunakan peralatan riset bersama secara efisien.

Kerjasama luar negeri tidak kalah pentingnya. Interaksi dengan lembaga riset luar negeri yang lebih maju akan membuka wawasan peneliti kita, juga peluang transfer teknologi yang di perlukan.

Tinggal apa yang kita tunggu, waktu terus berjalan cepat. Kelangkaan energi pasti akan terjadi jika kita tidak cepat tanggap.





Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline