Lihat ke Halaman Asli

Telisik Data

TERVERIFIKASI

write like nobody will rate you

Popularitas Menteri dan SBY Sebagai Bintang Iklan

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12954849441817539109

[caption id="attachment_84419" align="aligncenter" width="223" caption="B.J. Habibie sebagai Menristek yang sangat populer di era Suharto (http://djaka1.files.wordpress.com)"][/caption] Pada masa Presiden Suharto berkuasa, popularitas menteri-menteri cukup tinggi di kalangan masyarakat. Pada masa itu, tanpa harus googling, departemen apa, urusan apa, dipimpin oleh siapa, cukup dikenal baik hingga anak-anak sekolah dasar. Bahkan Menristek B.J Habibie pada waktu itu, memiliki tidak hanya popularitas tetapi juga penggemar yang tidak kalah banyak dengan penggemar artis. Citra cerdas dan teknokratnya Habibie menyatu dengan gerak-gerik serta tajam sorot mata, begitu seperti yang sering terlihat  oleh rakyat di koran atau di televisi. Kini, menteri kabinet lebih dikenal (hanya) oleh publik apabila ketiban kasus atau gosip. Tifatul Sembiring lebih sering disorot karena kontroversinya di twitter, dan sekarang Menteri Kesehatan yang muncul ke permukaan gara-gara penyakit paru-paru yang diidapnya. Sekedar Anda tahu, saya sampai harus bertanya ke mBah Gugel untuk mencari tahu siapa menteri riset saat ini. Di luar itu, apa yang dikerjakan menteri-menteri itu, apa program-programnya, kita  harus mencari tahu sendiri. Barangkali karena konstruksi media massa pada era Suharto berjalan  efektif dan berperan sebagai corong pemerintah. Semenjak reformasi, lembaga-lembaga pemerintah tidak mendapat tempat (tidak dianakemaskan) dalam pemberitaan. Kegiatan-kegiatannya mungkin tidak memiliki nilai jual untuk menaikkan rating atau jumlah pembaca. Berita buruklah yang akan memikat wartawan untuk menguliti dan mengungkap keberadaan mereka ke horison penglihatan rakyat. Tanpa itu, mereka akan tenggelam di belakang meja kerjanya masing-masing. Berbanding terbalik dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menjadi pusat perhatian media. Pernyataan, tindak-tanduk, bahkan pakaian batik, hingga gadget di tangannya memperoleh liputan dan pembahasan khusus. Lingkungan seperti ini yang membuat SBY sangat memperhitungkan citra. Berdasarkan rekam jejak selama ini di media, SBY tampak sangat ingin menonjolkan citra yang cerdas, melek teknologi, elegan/modis, seniman, dan, tentu saja dominan. Keinginan itu kelihatannya terlampau berhasil sehingga mengundang cibiran banyak kalangan, terutama ketika SBY secara atraktif menjadi "bintang iklan" sebuah gadget populer. SBY juga kerap membuat gebrakan yang sayangnya banyak terpeleset karena kurang matang dalam pertimbangan. Kita tentu masih ingat kasus dulu yaitu  rilis varietas Padi Super Toy, bahan bakar dari air (!), dan pada periode sekarang seperti program pembelian sapi korban letusan Merapi serta handphone buat TKI. Gebrakan-gebrakan yang jelas pragmatis itu seperti seolah-olah muncul dari sensitivitas emosi ketimbang pemikiran yang matang. Celakanya, posisi SBY yang selalu berada di pusat perhatian, membuat semuanya menjadi bertambah buruk dengan amplifikasi oleh pemberitaan media. Berbagai kasus tersebut seperti menggeser beban kerja pemerintah dari departemen atau kementerian ke pundak presiden semata. [caption id="attachment_84446" align="aligncenter" width="356" caption="Kabinet Indonesia Bersatu II (matanews.com)"]

12954891321416347689

[/caption] Pemerintah sebagai lembaga yang dikelola bersama-sama seharusnya bekerja keras menghadirkan" negara" sebagai sebuah "sistem yang bekerja" dengan pemerataan beban kerja di pundak para pembantunya di kementerian atau departemen. Sehingga, ketika ada kasus-kasus  yang muncul, masyarakat  dapat memberikan evaluasi kritis pada bagian mana dari  mekanisme sistem itu yang macet. Belakangan ini, pernyataan beberapa tokoh lintas agama tentang 18 kebohongan pemerintah bak menepuk air di dulang, terpercik wajah SBY. Berbagai kebohongan (kegagalan) pemerintahan tersebut tentu tidak lepas dari kerja dan peran pembantu-pembantu SBY sendiri yaitu menteri-menteri kabinet. Tetapi karena menteri-menteri itu berada entah di mana, maka SBY lah yang harus menjadi bintang iklan  mewakili lembaga pemerintahan. Sementara SBY mungkin tidak begitu leluasa menyusun dan mengutak-atik kabinet impiannya sendiri karena ikatan-ikatan politis di masa lalu. Hal ini bisa saja menyebabkan pemilihan menteri kurang akurat karena tidak berdasarkan kompetensi yang cukup. Era komunikasi baru dan aturan main yang berbeda seharusnya memperoleh perhatian pemerintah, yaitu bagaimana agar masyarakat memperoleh informasi tentang kerja dan program menteri-menteri kabinet. Apakah harus seperti perusahaan swasta dengan cara memasang iklan di media cetak, ataukah dengan rajin berkicau di twitter. Bagaimanapun, baik  kementerian  maupun rakyat sama-sama punya kepentingan. Terutama rakyat (yang membayar pajak), informasi dari lembaga pemerintahan diperlukan untuk mengetahui apa dan bagaimana lembaga-lembaga itu dapat meringankan beban hidup mereka. Kita merindukan lebih banyak "bintang iklan" untuk tercapainya keberhasilan di bidang penegakkan hukum, perlindungan TKI di luar negeri, antisipasi ketersediaan pangan, kemudahan memperoleh lapangan kerja, ketersediaan modal usaha, dan masih banyak lagi.  Kapankah sosok-sosok  Suharso Manoarfa, Gusti Moh. Hatta, Syarifuddin Hasan, Suharna Surapranata dkk. muncul sebagai "bintang iklan" ? Sekarang bukan masanya lagi bagi sosok-sosok "introvert" memegang pimpinan lembaga publik yang dibiayai pajak rakyat. Tentu bukan untuk menyampaikan  iklan-iklan  kosong belaka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline