Lihat ke Halaman Asli

Telisik Data

TERVERIFIKASI

write like nobody will rate you

Retak Rekat Bangsa oleh Media

Diperbarui: 26 Juni 2015   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

[caption id="attachment_216545" align="alignleft" width="300" caption="(sumber : http://www.compassionatexpression.com)"][/caption] Email Beberapa tahun silam, untuk keperluan penelitian saya harus menggunakan fasilitas Laboratorium Bioteknologi di IPB. Berhubung Dr. Maggy Thenawidjaya sebagai kepala laboratorium sedang berada di Australia, saya disarankan untuk menyampaikan permohonan izin via email saja. Saran saya ikuti, dan itulah kali pertama saya membuat email dan menggunakannya untuk berkomunikasi dalam media internet. Mengamati perkembangan media web selanjutnya, rupanya ada juga evolusi cara-cara orang berinteraksi dan bersosialisasi.  Dahulu, penjelajah di ranah maya kebanyakan merupakan individu-individu yang berhubungan secara email to email atau chatting langsung. Email berfungsi sebagai identitas virtual, wakil dari eksistensi tubuh nyata kita. Jejaring Beberapa akun email dapat saja bergabung membentuk jejaring sosial atau group yang disebut milis (mailing list). Milis ini meneruskan keberadaan komunitas di dunia nyata atau minat bersama dari anggota-anggotanya. Kini milis meredup. Keterbatasan tampilan milis membuat pengguna beralih ke media jejaring sosial yang lebih modern dan kaya fasilitas. Beberapa komunitas lokal antara lain Kompasiana, Kaskus, atau detikforum. Sedangkan di tingkat global, Facebook dan Twitter sekarang sedang meraja. Nampaknya di alam maya pun tidak baik keluyuran sendirian. Berjamaah dalam satu wadah dipandang lebih elok untuk menjalin silaturahmi. Saat ini data pengguna internet dan jejaring sosial sekitar 25 juta, sedangkan Kominfo memercayai angka 45 juta untuk total pengguna. Walau bentuk dan cara berubah, namun ada beberapa issue krusial yang senantiasa mengiringi tumbuh kembang media internet dan jejaring sosial di dalamnya. Issue tersebut adalah pornografi dan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Kedua masalah tersebut dipandang sebagai ancaman langsung terhadap dua pilar tatanan sosial masyarakat kita yaitu lembaga perkawinan dan sikap toleransi antar berbagai elemen bangsa. Adapun daerah irisan yang menjadi penyebab konflik adalah seksualitas dan kebebasan berpendapat. Seksualitas Seksualitas menjadi irisan antara wilayah hak biologis individu dengan wilayah hak individu yang terikat lembaga perkawinan. Indonesia secara konstitusional telah menetapkan lembaga perkawinan sebagai pembeda antara ciri reproduksi manusia dengan ciri reproduksi pada hewan atau tetumbuhan. Melestarikan lembaga perkawinan berarti memelihara harkat dan harga diri kemanusiaan kita. Titik berat inilah yang menjadi tumpuan kita dalam berinteraksi, baik di dunia nyata maupun dalam media jejaring sosial di ranah maya. Termasuk juga dalam dunia pendidikan kita. Mata pelajaran Teknologi Komunikasi dan Informasi seharusnya menyertakan juga sisipan pentingnya kewaspadaan, etika internet (netiket) dan nilai-nilai keluarga. Anak-anak dan remaja memiliki bekal daya tahan psikologis paling minim ketika ia memasuki jagat maya yang kian mudah dijangkau. Sementara sense of curiousity yang tinggi dapat menyesatkan dan menjebaknya masuk ke dalam kejahatan seksual yang bengis. Ekspresi [caption id="attachment_216667" align="alignright" width="300" caption="(Sumber: http://remarkk.com)"][/caption] Issue krusial berikutnya adalah kebebasan berpendapat dan mengekspresikan identitas diri atau kelompok. Bangsa dibangun oleh kesepakatan historis individu-individu penduduk beserta label-label yang melekat padanya. Suku, agama, ras, golongan, profesi, postur, umur, minat dan seterusnya, melekat dan membentuk pribadi individu yang menjadi elemen terkecil suatu bangsa. Sebagai bagian dari bangsa, pendapat atau gagasan apapun sebagai bentuk aktualisasi diri seharusnya selalu mengandaikan adanya 'yang lain' selain pribadi kita. Ada pengguna asal Sumbawa atau  Halmahera, ada sepuh juga anak-anak, orang Budha atau orang Hindu, dan seterusnya. Segala bentuk status, artikel, pernyataan, gambar, rekaman, atau ekspresi dalam internet dan jejaring sosial tidaklah berada dalam ruang hampa. Ia dapat menggelinding, menyentuh, menyinggung, memantul, atau membentur keberadaan eksistensi lain selain kita. Anonimitas dalam media internet dan jejaring sosial tentu sah dan diperkenankan (sejauh ini, setidaknya oleh sistem) . Akan tetapi kebebasan kita menggunakan nama tidak serta merta membebaskan diri dari tanggung jawab hukum dan sosial. Harap kita ingat, anonimitas dalam serat optik bukanlah anonimitas mutlak. Ia dapat dilacak dan ditelusuri kepada tuan pemiliknya. Bukannya kritik dan saran harus dijauhi atau diselipkan di bawah karpet. Justru kritik dan saran merupakan alat-alat konstruksi bagi kita yang sedang membangun. Perdebatan dan polemik adalah wajar, tanda kedewasaan sekaligus kelaziman dalam masyarakat beradab. Tapi marilah kita lakukan itu semua dengan semangat kekitaan, bukan keakuan, dengan cara yang baik dan jujur, bukan curang tapi bukan pula lugu.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline