Dualisme: Preseden Terburuk Legislatif 2014-2019
Perpecahan dalam parlemen semakin meruncing dengan munculnya pimpinan DPR tandingan yang digagas partai Koalisi Indonesia Hebat. Sebelumnya, sidang paripurna pemilihan pimpinan DPR RI di Gedung Parlemen DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat, rabu (1/10/2014) lalu telah memilih Setya Novanto (Golkar), Fadli Zon (Gerindra), Fahri Hamzah (PKS), Taufik kurniawan (PAN), Agus Hermanto (Demokrat) sebagai pimpinan DPR RI periode 2014-2019. Sementara Fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat membentuk pimpinan DPR tandingan dan menggelar sidang paripurna untuk melantik pimpinan DPR yang baru. Pimpinan DPR dalam KIH menunjuk Pramono Anung (PDI Perjuangan) sebagai ketua, Abdul Kadir Kading (PKB), Syaifullah Tamliha (PPP), Dossy Iskandar (Hanura), dan Rio Patrice Capella (Nasdem) sebagai wakil ketua.
Peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Siti Zuhro mengatakan bahwa dualisme dinilai akan menghambat kinerja pemerintah nantinya. Dia juga mempertanyakan bagaimana nantinya pemerintah bekerja ketika mitranya kisruh dan ada dua kepemimpinan. Seharusnya DPR jangan mengedepankan konflik gaduh, tapi juga memikirkan kepentingan bangsa.
Memang sebelumnya, fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat secara aklamasi mengangkat pimpinan DPR RI tandingan karena mengaku kecewa dengan pimpinan DPR RI periode 2014-2019 dari Koalisi Merah Putih pada paripurna 1 Oktober 2014 lalu. Namun, adanya tandingan pimpinan DPR bukti bahwa pada level elit pun kedewasaan politik masih sangat rendah. Perilaku parlemen seperti ini justru merugikan kepentingan bangsa.
Langkah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) membentuk dan menetapkan susunan pimpinan DPR RI tandingan memberikan efek negatif terhadap banyak hal. Pertama, publik luas akan menambah mosi ketidakpercayaan terhadap parlemen kita. Baik soal integritas lembaga, moralitas, dan juga kapabilitas anggota itu sendiri. Jika dualisme ini berlarut maka ini awal petaka bagi kinerja pemerintahan mendatang, juga bobroknya mentalitas parlemen kita.
Kedua, kepemimpinan ganda di DPR akan menghambat kinerja pemerintah. Karena nanti pemerintah akan sulit meladeni kisruh parlemen yang sampai saat ini belum tuntas. Secara otomatis akan menghambat kinerja pemerintah. Konsekuensinya, pemerintah akan terbelenggu dalam kisruh parlemen.
Ketiga, dualisme yang dilakukan jelas telah menciderai harga diri bangsa. Dualismemembahayakan eksistensi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keberadaan pimpinan DPR tandingan jelas dan tegas melanggar konstitusi negara RI, melanggar UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3.
Hal demikian menjadi preseden terburuk legislatif periode 2014-2019. DPR sebagai lembaga tinggi negara justru mencerminkan kekisruhan perilaku buruk anggotanya. Hal ini tidak hanya mempermalukan anggota DPR secara individu tapi juga secara institusi. Sebagai wakil rakyat yang dipilih secara langsung dan mendapat mandat oleh rakyat, DPR harus mampu mendatangkan kegairahan serta optimisme masyarakat Indonesia ihwal aspirasi mereka lima tahun mendatang. DPR harus benar-benar menjadi contoh pengemban amanah rakyat yang berlandaskan pada undang-undang, menjadi wadah aspirasi yang siap tancap gas untuk menampung aspirasi rakyat. Semoga
Oleh: Agung Prihatna
( Mahasiswa Pascasarjana Fisip Univeritas Indonesia )
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H