Dunia pendidikan kembali berkabung, kasus susur sungai yang melibatkan anak-anak SMPN 1 Turi, Sleman, Yogyakarta berujung maut. dilansir dari Liputan6.com 8 korban tewas dan 2 orang lagi belum ditemukan.
Organisasi pramuka kembali terpojokkan setelah muncul ungkapan dari komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti yang dikutip dari CNNIndonesia, "Momentum kasus ini, KPAI mendorong Kemdikbud RI untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang menjadi Pramuka sebagai ekskul yang wajib diambil setiap anak, bahkan mempengaruhi kenaikan kelas," pada Sabtu (22/2).
Pagi ini, semua korban telah ditemukan dan dugaan tersangka telah diproses oleh kepolisian. Kelalaian adalah titik permasalahan pada kasus ini, pengawasan dan kontrol yang rendah dari pihak sekolah menyebabkan kegiatan terlaksana tanpa sepengetahuan kepala sekolah. Dari postingan yang viral Pembina Pramuka SMPN 1 Turi mengabaikan saran warga dengan dalih "hidup dan mati di tangan tuhan".
Dengan pernyataan seperti itu, seolah olah manusia benar-benar tidak punya daya untuk mempertahankan hak hidup, sedangkan kita tahu tuhan telah melarang manusia untuk mendekati marabahaya. Maut itu datang sendiri, tapi bukan untuk dicari.
Sebuah pelajaran untuk setiap instansi pendidikan, bahwasanya harus ada sebuah kepentingan dalam memilih tenaga pengajar dan pembina karena sebagai seorang pendidik dan pembina tidak hanya mengawasi, memberi arahan, melainkan menjadikan murid sebuah tanggung jawab nyawa yang harus diemban.
Profesi sebagai pendidik dan pembina merupakan pekerjaan yang amat mulia, tetapi harus diiringi dengan tanggung jawab, Karena ada amanah dibalik setiap profesi.
Sangat disayangkan karena seolah kasus ini ditinjau dengan tidak obyektif, Sejauh ini pramuka dan kegiatan yang telah menjadi tradisi adalah kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas diri peserta didik baik melalui pendekatan akademik, sosial, praktik, alam dan lingkungan.
Jika dipikirkan lagi, apapun kegiatan ekstrakurikulernya jika tidak diawasi dengan baik maka tentu akan menimbulkan petaka. Mengapa kita tidak mengevaluasi apa yang menjadi titik permasalahan, bukannya mengevaluasi organisasi mana yang terlibat?
Ibarat sebuah tumbuhan, ketika sebuah tanaman sakit tentu yang kita pikirkan adalah apa yang membuatnya sakit? apa yang terjadi pada akar tanaman? apa yang dibutuhkan tanaman supaya sehat kembali? bukan malah memotong daunnya dan memotong rantingnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H