Lihat ke Halaman Asli

Monotheisme Titik Temu Agama Samawi

Diperbarui: 28 Juni 2021   19:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

MONOTHEISME TITIK TEMU AGAMA SAMAWI

A. PENDAHULUAN

Semua agama samawi mengatakan Tuhan itu Esa atau monotheisme sebagai bentuk kepercayaan yang benar. Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia memerlukan suatu bentuk kepercayaan, dikarenakan kepercayaan itu akan melahirkan suatu bentuk tata nilai guna menopang hidup dan budayanya. Siakap tanpa kepercayaan atau ragu yang sempurna tidak mungkin dapat terjadi. Tetapi selain kepercayaan yang dianut karena kebutuhan dalam waktu yang sama juga harus merupakan kebenaran. Menganut kepercayaan yang salah atau dengan cara yang salah bukan saja tidak dikehendaki akan tetapi bahkan berbahasa.[1]

 Prof. Dr. Carl Gustaf Yung (psikilogi) menyatakan bahwa kepercayaan kepada tuhan merupakan kecenderungan manusia yang alamiah (naturaliter relogiosa). Kepercayaan kepada tuhan harus benar. Akan tetapi faktanya dalam masyarakat terdapat berbagai bentuk kepercayaan. seperti ada dewa alam dan lain sebaginya. Tiap-tiap kepercayaan itu melahirkan tata nilai norma yang dianut masyarakat dan menjadi tradisi. 

Agama samawi merupakan sebuah identitas agama yang terlahir di negari Timur Tengah, namun hal ini bukan pernyataan satu-satunya. Sebab dalam agama samawi terdapat sebuah ajaran yang mengajarkan kepada ketuhanan yang Maha Esa dan menentang syirik[2] , yang berarti melarang menyekutuhan Tuhan dengan sesuatu apapun. 

Selaras dengan ini Sutardi[3], merinci bahwa agama samawi merupakan agama yang datang dari wahyu yang bersumber dari Tuhan melalui seorang utusan yang bernama Rasul serta memegang risalah monotheis. Perhatian tersebut tertuju pada tiga agama monotheis yang ada, Islam, Nasrani dan Yahudi yang masing-masing dengan seorang Rasul, Muhammad, Isa (Yesus) dan Musa. Ketiga agama tersebut sama-sama mengakui Ibrahim sebagai bapak pembawa tauhid 'the foundation father's'.[4]  

Berdasarkan common word ini, di antara Yahudi, Nasrani, dan Islam tidak lagi berambisi merebut kebenaran yang paling benar. Sehingga konflik pada setiap agama baik Yahudi-Nasrani, Yahudi--Islam, Nasrani-Islam ataupun ketiga-tiganya langsung dapat di netralisir, demi menjunjung tinggi kesucian agama dan penghargaan pada kemanusiaan.[5] 

B. PEMBAHASAN

Agama-agama besar mengandung persepsi-persepsi varian dari "yang asal", yaitu realitas ketuhanan yang misterius dan respon-respon terhadapnya. John Hick sampai pada satu kesimpulan bahwa agama pada hakekatnya adalah jalan yang berbeda-beda menuju tujuan yang sama; the Ultimate, The Real atau Yang Ada (Tuhan). Namun penyebutan dan interpretasi manusia saja yang berbedabeda. Pluralisme agama John Hick tampaknya merupakan bentuk pengembangan dari paham inklusivisme.[6]

Dr. J. Verkuil dalam bukunya, Samakah Semua Agama? memuat kisah Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana) karya Lessing (1729-1781). Kesimpulan dari kisah itu adalah bahwa semua agama intinya sama. Intisari agama Kristen, menurutnya adalah Tuhan, kebajikan, dan kehidupan kekal. Intisari itu, demikian Verkuyl, juga terdapat pada agama Islam, Yahudi, dan agama lainnya. Konferensi Parlemen Agama-agama di Chicago tahun 1893, mendeklarasikan bahwa seluruh tembok pemisah antara berbagai agama di dunia sudah runtuh. Konferensi itu, lebih jauh menyerukan "persamaan" antara Kon Fu Tsu, Buddha, Islam dan agama lainnya.[7]

Nurcholis Madjid dan Ulil Abshar Abdalla, dan Prof. Dr. Said Agil Siradj, termasuk cendekiawan yang mengusung "pluralitas" dengan tendensi "menyamakan" agama-agama yang ada. Ulil Abshar Abdalla menyatakan, "Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar."[8] Said Agil Siradj menyatakan bahwa agama Islam, Yahudi dan Kristen adalah agama yang "samasama" memiliki komitmen untuk menegakkan kalimat Tauhid, karena, secara geneologi, ketiga agama ini, mengakui bahwa Ibrahim adalah 'the foundation father's[9]. Lebih lanjut, Abdul Munir Mulkhan menyatakan bahwa agama-agama hanyalah salah satu "pintu" menuju surga Tuhan yang satu. Dan surga Tuhan itu hanya bisa dimasuki dengan keikhlasan, pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya.[10]

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline