Aksi Bruno Casimir beberapa waktu lalu, membuat marah semua pecinta sepakbola nasional, aksinya yang kontroversial itu seakan memperlihatkan kepongahannya terhadap pemangku kebijakan sepakbola saat ini, PSSI dan juga kemenpora. Sikapnya yang acuh dengan membiarkan bola bergulir disampingnya, sampai akhirnya terjadinya gol itu sangat memalukan dan mencoreng sepakbola kita apapun alasannya. Bagaimana mungkin pemain belakang membiarkan begitu saja bola yang melewati dirinya, dan berjalan ke pinggir lapangan layaknya "dagelan"yang dipertontonkan ke publik, seolah menantang dan melecehkan PSSI.
Pemain asing sebenarnya sudah mulai berkiprah di Liga Indonesia sejak tahun 80an dengan dimulainya era Galatama, saat itu Niac Mitra terkenal dengan menggunakan pemain Fandi Ahmad yang berasal dari Singapura. Sampai saat ini pun jumlah pemain asing makin banyak, karena ditiap klub diperkenankan memainkan pemain asing berjumlah 4 orang. Jumlah yang sangat banyak mengingat mutu kompetisi Liga Indonesia yang masih rendah.
Pemain asing saat ini dengan gaji rata rata mencapai ratusan juta rupiah, yang lebih tinggi dari pemain lokal, diharapkan dapat mendongkrak kualitas klub peserta liga Indonesia. Namun sampai saat ini, jangankan membawa klub berprestasi ke tingkat Asia atau dunia, di level Asia Tenggara pun, klub kita tidak mampu unjuk gigi. Bahkan kompetisi Liga kita masuk dalam ranking 26 di Asia, dan dilevel Asia Tenggarapun kita masih di bawah Thailand, Vietnam, Filipina, Malaysia dan Singapore, hanya lebih tinggi dari Myanmar, Laos. Jika melihat data diatas kompetisi kita ini masih dalam tahapan "belajar" bukan sudah masuk dalam tahapan "bisnis" seperti Liga Premier Inggris atau J League jepang. Masih jauh.
Tidakkah kita malu dengan kondisi ini? Dan ini sudah bertahun- tahun sejak PSSI berdiri tahun 1930??
Kemudian apa perlunya mendatangkan pemain dengan gaji ratusan juta, tanpa memberikan perubahan ke klub, yang muaranya ke timnas? Bukankah sebaiknya kita lebih fokus pada pembinaan usia muda, membuat akademi berjenjang, mendidik pemain lokal, kemudian memberikan jam terbang yang banyak di level kompetisi, agar nantinya juga bisa mengangkat kualitas level kompetisi kita sehingga prestasi timnas pun akan meningkat? Kompetisi liga berjenjang pun saat ini belum ada, seharusnya Liga 3 yang carut marut pelaksanaannya, penuh intrik, pemukulan wasit, perkelahian, harusnya menjadi kasta terendah pembinaan dengan tidak menggunakan pemain asing.
Menjadi pertanyaan sekarang, semua pemilik klub sepertinya tidak satu visi dengan timnas, mereka semua tampaknya berlomba lomba menjadi kampiun di liga dengan cara instant. Terlihat dari cara mereka belanja pemain asing, menghalalkan segala cara, yang penting juara. Entah apa yang ada di benak pemilik klub ini jika berhasil juara liga, pastinya tetap akan dipandang sebelah mata oleh rekannya sesama klub di Asean. Karena tidak ada sama sekali keinginan untuk membangun akademi yang baik, training ground lengkap, fokus pembinaan usia muda. Pendanaan mungkin ada namun dipakai untuk cara instant dengan membeli pemain asing dengan bandrol ratusan juga rupiah, yang nyata nyata tidak pernah memberikan prestasi buat klub, timnas dan Indonesia, namun malah mempermalukan kita seperti kasus Bruno diatas.
Kasus Bruno ini harusnya bisa menjadi yang terakhir dari borok borok yang bermunculan di liga Indonesia, karena ini seperti fenomena gunung es. Tidak irikah kita dengan stabilnya prestasi timnas Thailand atau tidak malukah kita sekarang tertinggal jauh dengan Vietnam yang dulu dibawah kita, namun tampaknya mereka itu satu visi antara klub dengan timnasnya, mereka selalu fokus pada pembinaan usia muda dan juga membangun training ground modern.
Sudah saat nya PSSI sebagai federasi dan PT liga Indonesia sebagai regulator kompetisi bisa bersikap tegas, membatasi atau melarang sama sekali keberadaan pemain asing yang bermain di seluruh level kompetisi liga kita. Karena kompetisi kita masih belum dijalankan secara professional, surat licensi yang menjadi persyaratan klub juga seperti hanya pelengkap saja. Perbaiki kompetisi secara menyeluruh, dengan mensyaratkan agar setiap klub level 1 sampai 3 harus memiliki training ground sendiri sebelum ikut kompetisi. Kemudian semua klub harus memiliki akademi berjenjang dan memiliki pelatih usia muda sendiri dan juga pelatih fisik, agar visinya sama sehingga saat pemain dipanggil timnas, pelatih timnas tidak perlu lagi menggenjot fisik lagi seperti saat ini. Ini syarat yang mendasar tapi wajib dijalankan klub sebelum ikut kompetisi. Jika semua persyaratan ini sudah dilalui dan kompetisi bisa berjalan lancar sampai beberapa musim, barulah dipertimbangkan menggunakan pemain asing berkualitas.
Untuk Timnas sendiri, bisa menggunakan pemain keturunan yang bermain di kompetisi teratas liga Eropa, Jepang, Korea, karena mereka berdarah Indonesia dan layak untuk membela negara. Seharusnya tidak perlu ada kuota berapa pemain keturunan yang akan diambil, karena ini bisa jadi keuntungan sendiri buat Indonesia jika memiliki banyak sekali pemain keturunan. Ingat juara dunia Prancis saja menjadi juara dunia dengan banyak pemain keturunan, Filipina pun hampir semua pemain timnasnya keturunan, sehingga akhirnya kita tertinggal jauh di belakang Filipina dalam ranking FIFA. Justru dengan banyaknya pemain keturunan di timnas akan membuat level kompetitif internal timnas makin meningkat. Dan ini juga akan memicu pemain lokal di kompetisi liga Indonesia untuk bersaing dan meningkatkan kualitasnya agar dipanggil timnas. Sehingga PSSI tidak perlu ragu lagi mendatangkan pemain berdarah Indonesia ke timnas, tetapi menghindari menaturalisasi pemain asing dan juga melarangnya berkiprah di liga Indonesia untuk saat ini.