Lihat ke Halaman Asli

Agung Nugraha

Mahasiswa

Menyingkap Kearifan Lokal Kampung Urug, Inspirasi Pertanian Berkelanjutan di Era Modern

Diperbarui: 13 Juli 2024   19:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi Pribadi

Minggu, 2 Juni 2024, tim PKM RSH IPB University yang terdiri dari Annisa Nurul Hasantie (KPM 58), Vina Novianti (AGH 58), Muhamad Fadili (MAN 58), Agung Nugraha (MAN 58), dan Yuswikha Asthafirdha Fisyhuri (MAN 58) melakukan kunjungan ke Kampung Urug. Mereka didampingi oleh dosen pendamping, yaitu Ibu Heru Purwandari, S.P., M.Si. dari Departemen Sains dan Komunikasi Pengembangan Masyarakat.

Tujuan utama kunjungan ini adalah untuk melakukan wawancara dan diskusi mendalam dengan pihak Kampung Urug mengenai sistem pertanian adat khususnya pada sektor persawahan yang ada di sana. Tim ini ingin menggali informasi mengenai kaitan antara penerapan tradisi bertani tersebut dalam mendukung pertanian berkelanjutan (Sustainable Agriculture) serta bagaimana potensinya jika tradisi bertani tersebut diterapkan di luar Kampung Urug sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan alam dan menciptakan sistem pertanian yang berkelanjutan.

Dalam pertemuan yang berlangsung selama beberapa jam, tim tersebut berkesempatan berdiskusi langsung dengan Abah Ukat selaku tetua adat Kampung Urug, Bapak Ade selaku tangan kanan Abah Ukat, serta beberapa masyarakat yang tinggal di Kampung Urug. Baik dari tetua adat maupun masyarakat menyambut baik inisiatif dari mahasiswa dan bersedia berbagi informasi serta pandangan mereka terkait dengan tradisi bertani yang ada di sana.

Diskusi dimulai dengan penjelasan mengenai sejarah awal mula yang melatarbelakangi terciptanya tradisi dalam bertani di Kampung Urug. Menurut beliau tradisi bertani di Kampung Urug saat ini dilatarbelakangi oleh adanya warisan dari para leluhur dan disesuaikan dengan karakteristik alamnya sehingga sistem pertaniannya lebih bersifat ramah lingkungan. Saat ini pemerintah telah menetapkan Kampung Urug Bawah sebagai Kampung Adat Urug yang masih kental dengan tradisi bertani berbasis kearifan lokal.

“Pemerintah ambilnya hanya pusatnya doang, dijadikan kampung adat masuk kampung budaya itu hanya urug lebak doang, soalnya urug tengah tuh anak kandungnya, kalau Abah Sukardi (Urug atas) termasuk cucunya, tapi itu baru tiga generasi. Jadi kakek bapak cucu, kakek pusatnya disini. Jadi pemerintah ngambil pusatnya doang itu disini (Urug bawah),” jelas Abah Ukat.

Pak Ade menjelaskan bahwa di Kampung Adat Urug, ada sekitar 500 Kepala Keluarga (KK) yang tersebar dalam tiga Rukun Warga (RW) di daerah Lebak. Batas wilayahnya dimulai dari tanjakan sungai atau selokan, dengan selokan ke arah tengah disebut Urug tengah, ke atas Urug atas, dan ke bawah Urug bawah. Urug Bawah merupakan wilayah paling luas di daerah ini.

Mata pencaharian utama di Urug bawah adalah pertanian, terutama padi yang ditanam setahun sekali. Karena hasil pertanian bagi sebagian orang tidak mencukupi kebutuhan, penduduk juga ada yang berdagang ikan basah yang diperoleh dari Jakarta atau Bandung dan dijual di berbagai daerah seperti Bogor, Cianjur, Bekasi, Tangerang, dan Depok. Hasil bumi khususnya padi tidak diperjualbelikan sesuai amanat leluhur, sedangkan palawija hanya sebagian kecil yang menjualnya. Lahan pertanian kebanyakan berupa sawah, dengan beberapa juga memiliki kebun pisang atau sayuran untuk dikonsumsi sendiri.

Penduduk yang tetap tinggal di kampung umumnya adalah orang tua yang mengurus sawah dan ternak. Generasi muda biasanya keluar kampung setelah masa tanam padi dan kembali untuk penggarapan lanjutan atau panen. Saat tinggal di desa, pekerjaan di kota ditinggalkan sementara.

Kampung ini memiliki lima acara adat tahunan: Ponggokan (menyambut bulan Muharram), Seren Taun (pesta panen), Muludan, Ruwahan (sebulan sebelum puasa), dan Sedekah Bumi (sebelum menanam padi). Acara-acara ini mengharuskan semua warga pulang ke kampung halaman untuk berpartisipasi dan menjalankan tradisi adat.

Lebih lanjut, masyarakat di Kampung Urug memaparkan bahwa mereka setuju jika tradisi bertani yang ada di Kampung Urug dapat diterapkan di daerah lain karena akan berdampak pada berkurangnya hama yang akan menyerang lahan mereka. Hal tersebut terjadi karena adanya persamaan waktu dalam menanam dan memanen padi, sehingga hama yang ada tidak akan menyerang pada satu lahan yang sudah berbuah dan menyebar ke seluruh lahan yang ada. 

Abah Ukat juga menjelaskan bahwa di Kampung Urug, mayoritas penduduknya adalah petani. Mengenai kepemilikan lahan, sebagian besar petani menggarap tanah milik sendiri yang diperoleh secara warisan. Namun, ada juga yang membeli lahan jika memiliki cukup uang. Meskipun kebanyakan tanah digarap sendiri, ada juga beberapa yang menyewa lahan terutama untuk menanam tanaman seperti cabai, yang membutuhkan lahan luas. Sehingga, lahan kosong bisa saja disewakan atau digarap oleh orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline