Ketika integritas menjadi taruhan, apakah kita rela membiarkan transparansi hanya menjadi sekadar wacana? Fakta bahwa 40% pejabat negara belum menyerahkan LHKPN menunjukkan bahwa perjuangan melawan korupsi masih menghadapi tantangan besar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan bahwa sebanyak 52 dari 124 pejabat di Kabinet Merah Putih belum melaporkan Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggaraan Negara (LHKPN), seperti yang diiberitakan Kompas.com (04/12/2024).
Apakah ini cerminan komitmen atau sekadar formalitas belaka? Mari kita telusuri lebih dalam, karena negeri ini membutuhkan pejabat yang benar-benar jujur, bukan hanya tampak bersih di permukaan.
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) bukan sekadar formalitas administratif. Ia adalah elemen fundamental dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berintegritas. Dalam konteks manajemen risiko dan hukum tata negara, LHKPN berfungsi sebagai early warning system untuk mencegah korupsi, memastikan akuntabilitas pejabat publik, serta menjaga kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa pelaksanaan LHKPN di Indonesia masih jauh dari ideal. Kepatuhan yang tidak maksimal, disertai laporan yang sering kali tidak mencerminkan kebenaran, menjadi tantangan serius bagi tata kelola anggaran negara. Artikel ini akan membahas pentingnya LHKPN sebagai bagian dari tata kelola risiko, strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan efektivitasnya, serta implikasi kebijakan publik dalam mendorong perubahan sistemik.
LHKPN sebagai Instrumen Pencegahan Risiko
Dalam perspektif manajemen risiko, LHKPN berfungsi sebagai mekanisme mitigasi risiko keuangan dan reputasi negara. Ketidakpatuhan atau pelaporan yang tidak jujur bukan hanya mencederai integritas pejabat publik, tetapi juga meningkatkan risiko konflik kepentingan yang dapat berdampak langsung pada kebijakan dan alokasi anggaran.
Misalnya, ketidakpatuhan pejabat publik dalam melaporkan kekayaannya membuka celah bagi praktik gratifikasi, suap, atau penyalahgunaan kewenangan. Dalam tata kelola anggaran negara, risiko ini dapat mengakibatkan kebocoran anggaran yang berujung pada pemborosan atau bahkan korupsi sistemik. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban LHKPN yang jujur dan tepat waktu harus dianggap sebagai pilar utama dalam pengelolaan risiko nasional.
Strategi Peningkatan Kepatuhan dan Akurasi LHKPN
Untuk memastikan LHKPN benar-benar menjadi alat pencegahan korupsi yang efektif, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan pemerintah, lembaga antikorupsi, dan masyarakat luas. Beberapa rekomendasi kebijakan meliputi:
1. Penguatan Regulasi dan Sanksi
Regulasi terkait LHKPN harus diperkuat dengan penegakan hukum yang tegas. Pejabat publik yang tidak melaporkan atau memberikan data palsu harus diberikan sanksi administratif hingga pidana, termasuk penonaktifan dari jabatan.