"Korupsi itu seperti kanker; jika tak diobati, ia menyebar. Tapi anehnya, banyak yang justru pelihara penyakit ini seperti hobi."
Di sebuah seminar antikorupsi, seorang pembicara membuka dengan pertanyaan reflektif, “Apa itu korupsi?” Dari belakang, seorang bapak tua menjawab sambil mengunyah permen, “Korupsi itu, Pak, kayak api unggun di tengah hutan. Awalnya hangat, lama-lama yang meniup bara pun ikut terbakar.”
Semua tertawa, kecuali seorang pejabat di barisan depan. Wajahnya tegang, mungkin karena merasa hangat juga.
Pembicara melanjutkan dengan nada serius. “Korupsi, teman-teman, adalah kanker bangsa. Anehnya, bukannya mencari obat, mereka malah pelihara penyakitnya. Mungkin karena perawatnya dapat komisi per pasien.”
Semua kembali tertawa, termasuk pejabat tadi. Tawa kecil, lebih mirip senyum kecut.
Seorang peserta yang terkenal kritis tiba-tiba angkat tangan. “Pak, kalau korupsi itu kanker, kenapa obatnya malah dikunci di lemari, dan yang pegang kuncinya justru yang sakit?”
Seketika ruangan hening. Lalu tawa pecah lagi. Bahkan pembicara tak kuasa menahan senyum.
“Benar juga, Mas,” jawab pembicara. “Ibaratnya, ini seperti permainan layangan. Anggaran diterbangkan tinggi-tinggi, talinya dipegang yang punya jabatan. Kita yang di bawah cuma bisa tepuk tangan sambil menunggu layangannya nyangkut di pohon.”
Pejabat di depan terbatuk kecil. Entah karena tersindir atau kaget.
Pembicara melanjutkan dengan lebih santai, “Pidato antikorupsi itu, teman-teman, sering kali seperti iklan. Janjinya manis, tapi yang kita dapat selalu rasa pahit.”
Semua tergelak, kecuali pejabat tadi yang wajahnya mulai memerah. Tapi pembicara tidak berhenti.