"Menulis humor adalah seni menyulam tawa di atas realitas, menciptakan kebahagiaan meski dunia terasa terlalu serius."
Ketika kata-kata saat menulis humor jadi pahlawan di dunia yang begitu serius, bisa jadi ini akan jadi pengalaman "horor" bagi sebagian penulis.
Coba Anda bayangkan aja ini: Anda duduk di sebuah ruangan penuh orang, mencoba melontarkan lelucon terbaik Anda. Tapi, semua diam hening tak bersuara. Satu-satunya suara, ya dengung AC yang mencoba mencairkan keheningan.
Menulis humor, saudara-saudara sebangsa dan sedunia, persis seperti itu. Ia bukan sekadar seni mengolah kata, tapi seni bertahan dari keheningan yang mematikan! Harus berani melawan "kehororan".
Seorang bijak pernah menyampaikan, humor itu adalah bahasa universal. Ia mampu menjembatani perbedaan, mengangkat suasana hati, dan bahkan menyelesaikan konflik. Tapi, kenapa penulis humor begitu langka, seperti menemukan koin emas di reruntuhan kota kuno?
Jawabannya sederhana: menulis humor itu jauh lebih sulit daripada yang terlihat. Sesulit memburu para koruptor elit yang pandai berkelit dan saling menutupi, dan konon juga saling menyandera. Betapa tidak, humor itu tidak hanya butuh kreativitas, tapi juga nyali yang besar. Sebesar nyali dan kecerdasan Indiana Jones untuk menghadapi kritik, salah paham, dan tuntutan untuk selalu lucu.
Menulis humor adalah seni yang tak hanya mengundang tawa, tetapi juga menyentuh rasa kemanusiaan secara mendalam. Namun dalam aplikasinya, ada juga yang menggunakan humor sebagai "politik riang gembira" yang celakanya kebablasan.
Ya, sekali lagi, menjadi penulis humor tak ubahnya seperti Indiana Jones yang berpetualang mencari harta karun di gua-gua tersembunyi: penuh tantangan, risiko, dan butuh kecakapan luar biasa.
Lalu, apa rahasianya? Mari kita mulai dan kita kupas ringkas satu per satu alasannya:
1. Keahlian yang tidak umum
Menulis humor bukan sekadar memainkan kata-kata atau mengarang lelucon. Seorang penulis humor harus memahami psikologi manusia, menguasai seni bahasa, dan memiliki timing yang sempurna. Humor yang baik memerlukan kelincahan berbahasa untuk mengolah realitas, kadang absurd, menjadi cerita yang membangkitkan tawa. Ini adalah perpaduan antara kecerdasan verbal dan intuisi budaya yang hanya dimiliki oleh segelintir orang.