Kala angin pembangunan bertiup dari puncak kekuasaan,
Ribuan tangan rakyat meraba dalam ketidakpastian,
Menjejak tanah yang kian gersang oleh janji manis,
Dan matahari harapan tak lagi menyinari ufuk hari.
Pekerja serabutan adalah realitas pahit di balik kebijakan perekonomian kita. Mereka tak bersuara, karena sibuk kerja dan kerja. Mengejar angkutan dan kereta, bersimpuh mengumpulkan keping-keping rupiah. Terus berulang, memeras keringat dan lupa tertawa
Mereka yang dulu berani bermimpi, kini tertunduk,
Terlilit beban hidup dalam kerja serabutan,
Mengais nafkah dari gigitan-gigitan kecil ekonomi,
Tanpa jaminan, tanpa perlindungan, hanya sekadar bertahan.
Setiap langkah mereka menempuh jalan gig economy,
Di bawah bayang-bayang kontrak yang tak berpihak,
Mereka bukan lagi pekerja, tapi sekadar mitra,
Tergadai hak-hak mereka dalam alur sistem yang memenjarakan.
Siapa yang peduli? Siapa yang bertanya?
Ketika mereka jatuh dalam lubang tak berdasar,
Terperosok oleh kebijakan yang membesarkan korporasi,
Namun mengecilkan jiwa-jiwa kecil yang ingin hidup layak.
Berapa banyak lagi anak-anak yang harus menyaksikan ayahnya?
Berkeringat tanpa kepastian, pulang dengan tangan kosong,
Demi segenggam nasi yang semakin sulit terjangkau,
Sementara di atas sana, mimbar-mimbar kebijakan berdiri megah.
Ini bukan sekadar masalah angka,
Ini tentang rasa, tentang hakikat manusia,
Tentang mereka yang telah kehilangan martabat,
Karena ditelantarkan oleh sebuah sistem yang abai.
Wahai pemegang kuasa, dengarlah bisik hati nurani,
Tak cukup sekadar membagi janji yang sesaat menyenangkan,
Rakyat tak butuh simpati yang berujung pada pencitraan,
Mereka ingin solusi, mereka ingin harapan yang nyata.
Bangkitlah, wahai pemimpin yang arif dan bijak,
Lihatlah dengan mata hatimu,
Rakyatmu berjuang dalam kegetiran hari,
Saatnya kau angkat mereka dari keterpurukan ini.
Negeri ini tak akan maju tanpa kekuatan rakyatnya,
Dan rakyatmu tak akan kuat jika terus dibelenggu serabutan,
Bangunlah fondasi yang kokoh untuk masa depan mereka,
Agar harapan tak lagi menjadi mimpi di siang bolong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H