Lihat ke Halaman Asli

Agung MSG

TERVERIFIKASI

Insan Pembelajar

Sahabat, Renungkanlah Kebiasaan Membandingkan Seperti Ini

Diperbarui: 19 September 2024   06:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stop membandingkan diri. Ketenangan sejati bukan dari harta, tahta, atau pun kemasan dunia lainnya, tapi dari hati |Foto: beingthechange.com.au

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan ini, ada kalanya kita terjebak dalam kebiasaan membandingkan diri dengan orang lain. Seringkali, kita mengukur kesejahteraan hidup kita berdasarkan pencapaian dan kekayaan orang lain. Tanpa kita sadari, ini dapat menggerogoti ketenangan hati, membawa resah yang tak kunjung padam, dan membuahkan rasa iri yang merusak jiwa. Namun, sahabatku, pernahkah engkau merenung sejenak, apa sebenarnya yang seharusnya menjadi tolok ukur kebahagiaan dan kesuksesan kita?

Sebagai seorang muslim yang beriman, kita diajarkan bahwa segala yang ada di dunia ini hanyalah sementara. Kekayaan, jabatan, dan harta benda adalah titipan dari Allah yang pada akhirnya akan kembali kepada-Nya. Sungguh, kehidupan ini adalah perjalanan yang penuh dengan ujian. Di balik setiap nikmat yang diberikan, tersimpan tanggung jawab yang besar. Maka, jika engkau hanya melihat dari sudut pandang duniawi, engkau akan selalu merasa kurang, dan kebahagiaanmu akan terasa jauh.

Ustadz Dr. Musyaffa' ad Dariny hafizhahullah pernah mengingatkan kita dengan petuah yang sangat mendalam,
"Jika anda selalu membandingkan kesejahteraan hidup anda dengan orang-orang kaya, maka, harusnya anda bandingkan juga keadaan agama anda dengan orang-orang yang bertakwa. Itu baru adil. Belum lagi dengan yang pertama, Anda akan rugi dengan hilangnya ketenangan hati, sedang dengan yang kedua, Anda akan untung dalam agama dan dunia sekaligus."

Hakikat Perbandingan yang Benar

Sahabatku, seringkali kita mengabaikan perbandingan yang lebih hakiki, yaitu perbandingan dalam hal agama dan ketaatan kepada Allah. Mengapa kita begitu cepat iri kepada mereka yang memiliki kekayaan dunia, namun lalai untuk iri kepada mereka yang lebih bertakwa? Mengapa kita tidak menjadikan keimanan dan ketakwaan sebagai standar pencapaian yang lebih mulia?

Ketika engkau membandingkan kesejahteraan duniamu dengan orang-orang kaya, rasa ketidakpuasan akan terus menghantuimu. Hal yang sama juga akan dirasakan bila kita membandingkan pada karir, profesi, kesibukan, jabatan dan kewenangan, hingga kemasan dunia lainnya.

Hati yang dulunya damai akan terganggu oleh kecemasan dan keinginan yang tiada henti. Sebaliknya, saat engkau membandingkan dirimu dengan orang-orang yang lebih bertakwa, akan ada dorongan untuk memperbaiki diri, mendekatkan diri kepada Allah, dan meraih ketenangan hati yang hakiki.

Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Janganlah kamu arahkan pandangan matamu kepada kenikmatan yang Kami berikan kepada beberapa golongan dari mereka sebagai bunga kehidupan dunia agar Kami uji mereka dengan kesenangan itu. Karunia Tuhanmu adalah lebih baik dan lebih kekal." (QS. Tha-Ha 20: 131). Ayat ini mengingatkan kita bahwa segala hiasan dunia yang terlihat memukau dan berkilau hanyalah ujian, sementara karunia Allah yang lebih abadi ada dalam keimanan dan ketakwaan.

Keuntungan Dunia dan Akhirat

Sahabat, dengan membandingkan keadaan agama kita dengan mereka yang lebih bertakwa, kita tidak hanya akan mendapatkan keuntungan di akhirat, tetapi juga di dunia. Mengapa demikian? Karena orang yang bertakwa akan senantiasa hidup dalam keridhaan Allah. Mereka menikmati ketenangan yang tiada banding, meskipun mungkin secara materi tidak berlimpah. Ketenangan itu adalah buah dari keyakinan bahwa Allah selalu mencukupi kebutuhan mereka, serta ridha terhadap segala ketetapan-Nya.

Dalam dunia yang serba cepat ini, di mana kebanyakan orang berlomba-lomba mengejar kenikmatan dunia, kita perlu kembali kepada esensi kehidupan yang sebenarnya. Rasulullah SAW pernah bersabda, "Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kekayaan hati." (HR. Bukhari dan Muslim). Betapa indahnya ajaran ini, yang mengajarkan kita bahwa kekayaan sejati bukanlah diukur dari jumlah harta, melainkan dari kedamaian hati yang tercapai melalui keimanan dan ketaatan kepada Allah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline