"Demokrasi tidak boleh dilucuti hanya karena berbeda pandangan. Hargai putusan demi menjaga martabat bangsa dan kehormatan rakyat."
Belum juga reda kemarahan masyarakat sipil terhadap DPR dengan unjuk rasa yang masif di sejumlah daerah, kini muncul isu baru terkait kewenangan MK.
Dalam beberapa hari terakhir, wacana mengenai rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk mengevaluasi posisi Mahkamah Konstitusi (MK) telah memicu perdebatan yang intens di kalangan politik dan masyarakat sipil. Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, menyatakan bahwa evaluasi ini bertujuan untuk memperbaiki sistem pemilu dan ketatanegaraan di Indonesia. Namun, banyak pihak mengkhawatirkan bahwa langkah ini merupakan upaya untuk melemahkan kewenangan MK yang selama ini berperan penting dalam menjaga konstitusi dan demokrasi di negeri ini.
Namun, Ahmad Doli seperti membantah pernyataannya sendiri. Selang dua hari setelah pernyataan itu membuat heboh, Doli merasa tidak pernah membuat keterangan bahwa Komisi II bakal mengevaluasi MK. Mulai muncul tafsir liar, salah satunya spekulasi bahwa Doli ditegur bosnya. (Media Indonesia, 31/08/2024)
Urgensi Evaluasi: Refleksi atau Tekanan Politik?
DPR, sebagai lembaga legislatif, memiliki hak dan kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap institusi-institusi negara. Namun, pertanyaan yang muncul adalah apakah evaluasi terhadap MK ini didasarkan pada kebutuhan untuk memperkuat sistem ketatanegaraan atau justru merupakan bentuk tekanan politik?
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa MK adalah lembaga yang berfungsi untuk menjaga konstitusi dari kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh legislatif maupun eksekutif. Evaluasi yang dilakukan tanpa dasar yang kuat dan objektif justru dapat menciptakan preseden buruk bagi demokrasi Indonesia.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa kepercayaan publik terhadap DPR sendiri tidak berada pada posisi yang kuat. Berdasarkan survei LSI pada tahun 2023, tingkat kepercayaan publik terhadap DPR/DPRD adalah 58%, dengan hanya 7% yang sangat percaya dan 51% cukup percaya, sementara 31% kurang percaya dan 5% tidak percaya sama sekali.
Data ini menunjukkan bahwa ada keraguan di kalangan masyarakat terhadap kemampuan DPR untuk melakukan fungsi pengawasannya secara objektif dan transparan.
Kontroversi dan Kecurigaan Terhadap Upaya Kooptasi MK
Beberapa pengamat hukum tata negara dan pakar kebijakan publik mengkhawatirkan bahwa langkah DPR ini adalah upaya untuk mengooptasi MK. Herdiansyah Hamzah dari Constitutional and Administrative Law Society (CALS) bahkan secara tegas menyebutkan bahwa DPR akan melakukan segala cara agar MK bisa dikooptasi. "DPR akan melakukan segala cara agar MK bisa dikooptasi," ujar Castro, sapaan akrabnya (cnnindonesia.com, 30 Agustus 20240.