"Ketika para ahli tak lagi ditempatkan sebagai pakar, kita kehilangan arah dalam kebijakan. Mari kita junjung tinggi integritas dan perjuangkan kebenaran, karena hanya dengan itu kita bisa membawa bangsa ini menuju kemajuan sejati."
Dalam politik, peran Dewan Pakar sering kali dipandang sebagai tiang penyangga utama dalam merumuskan kebijakan yang berlandaskan pada pengetahuan dan kebijaksanaan.
Namun, ketika Dewan Pakar tak lagi ditempatkan sebagai pakar, melainkan sebagai alat politik semata, maka muncullah krisis integritas yang mengguncang fondasi partai itu sendiri.
Kasus terbaru yang melibatkan 28 Dewan Pakar Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang memutuskan mundur dari partai sebagai bentuk protes atas keputusan partai mendukung Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus menjadi salah satu contoh nyata dari pergeseran fungsi ini.
1. Fungsi Dewan Pakar: Antara Idealitas dan Realitas
Pada dasarnya, Dewan Pakar dibentuk untuk memberikan sumbangsih pemikiran yang objektif, berdasarkan kajian mendalam dan pengalaman yang matang dalam berbagai bidang.
Kehadiran mereka seharusnya menjadi penyeimbang, memberikan arahan yang konstruktif, serta menjadi penjaga agar kebijakan partai tetap berada di jalur yang seharusnya. Namun, dalam kasus ini, kita menyaksikan bagaimana para pakar merasa fungsi mereka tidak lagi dihargai sebagaimana mestinya.
Mundurnya 28 Dewan Pakar dari PKS bukanlah sekadar bentuk kekecewaan biasa. Mereka bukan hanya mengembalikan atribut partai dan kartu tanda anggota (KTA), tetapi juga mencabut kepercayaan mereka terhadap arah perjuangan yang selama ini diperjuangkan.
Langkah ini merupakan simbol penolakan terhadap keputusan partai yang dianggap menyimpang dari garis perjuangan yang pro-rakyat dan lebih berorientasi kepada kekuasaan.
2. Keputusan PKS dan Dampak terhadap Integritas Partai